DPO (Detachment Police Operation) Review : Apakah Film Ini Dibuat Dengan Serius?

“Di DPO, saya kesulitan untuk mengidentifikasi apa yang ingin dicapai film ini. Kesenian-kah? Atau kerajinan? Karena kedua tujuan itu tak saya temukan di film ini. Bila sebagai kesenian, tata artistik film ini begitu carut marutnya. Tak mempedulikan penceritaan, pengadeganan dan penyutradaraan.

Sebagai kerajinan, tak jelas target pasar yang ingin dicapai film ini. Sebagai film aksi, film ini sama sekali tak memberikan kesan.




Saat menonton DPO (Detachment Police Operation), suatu pemikiran terlintas dalam pikiran saya. “Apakah film ini dibuat dengan serius?”. Tentu saja filmmaking adalah sebuah proses serius. Sebuah proses yang melibatkan puluhan, bahkan ratusan, kru dan orang. Keseriusan sebuah film bisa dilihat dari dua sudut pandang : 1) Keseriusan dalam menata nilai artistik; 2) Keseriusan dalam menata nilai komersil. Dalam poin pertama, sebuah film ditujukan untuk mencapai tahapan sebuah produk kesenian. Di poin kedua, sebuah film ditujukan sebagai sebuah produk kerajinan, sebuah produk yang memiliki nilai jual komersil dan mengetahui segmen pasar yang dituju. Tak jarang sebuah film berhasil menggabungkan antara tujuan kesenian dan kerajinan. Berhasil diakui secara artistik dan komersil.

Di DPO, saya kesulitan untuk mengidentifikasi apa yang ingin dicapai film ini. Kesenian-kah? Atau kerajinan? Karena kedua tujuan itu tak saya temukan di film ini. Bila sebagai kesenian, tata artistik film ini begitu carut marutnya. Tak mempedulikan penceritaan, pengadeganan, penyutradaraan, atau desain produksi.

Sebagai kerajinan, tak jelas target pasar yang ingin dicapai film ini. Sebagai film aksi, film ini sama sekali tak memberikan kesan. Malah kesan yang muncul adalah film ini sebagai sebuah parodi. Parodi film aksi yang banyak dipuji, The Raid arahan Gareth Evans dan melambungkan nama Iko Uwais, Yayan Ruhyan dan Joe Taslim sebagai idola baru di genre film laga.

Dalam film aksi sebagai produk kerajinan, terkadang memang tak mengindahkan tata artistik dan mereka masuk ke kategori “film kelas B”(B-movies). Sebuah film yang mengeksploitasi kekerasan dan seringkali seks. Film-film kelas B ini juga tak mengindahkan dialog dan penceritaan. Pokoknya asal bak-bik-buk. Hanya saja ada semacam kualitas yang membuat mereka masih bisa dinikmati sebagai suguhan aksi. Itu karena kamera masih mau bekerja menangkap detail koreografi bela dirinya. Film-film yang kemudian masuk dalam kategori “ it’s so bad, it’s good”.

Sementara DPO justru tak jelas juntrungannya. Film aksi ? Bukan. Film komedi? Jelas bukan. Film aksi komedi? Itu pun bukan. Lalu kategori film kelas B? Saya melihatnya sebagai film kelas C. Atau bahkan D.

Kesan parodi itu muncul karena plot cerita ini sungguh mirip The Raid. Hanya saja DPO adalah versi amburadulnya. Alih-alih penonton tercekam dan ternganga lewat sajian aksi, penonton malah dibuat tertawa. Bila tujuan membuat penonton tertawa itu yang menjadi tujuan utama, film ini bisa disebut berhasil. Hanya saja saya meragukannya. Dalam beberapa aspek, film ini jelas dibuat secara serius sebagai film aksi.

Setidaknya itu bisa dilihat dari aktor-aktor yang memerankan adegan laganya.

Jelas terlihat bahwa mereka merupakan orang-orang yang menguasai teknik bela diri di atas rata-rata. Seperti Iko Uwais dan Yayan Ruhyan. Adegan berbahaya terlihat mereka perankan sendiri, tanpa stuntmen atau body double. Bisa disaksikan lewat karakter Tatang (diperankan oleh Deswyn Pesik) atau sosok penjahat anak buah si bos Satam (diperankan oleh Toro Margens) yang sayang saya tidak ketahui nama aktor ataupun karakternya. Mereka pun memperlihatkan kesungguhan berakting. Sayang, sutradara L.M. Belgant (nama yang terdengar fantastis, bukan?) tak mampu mengarahkan bakat mereka ataupun menangkap koreografi laganya.



DPO memiliki plot yang amat mirip dengan The Raid. Tentang sekelompok pasukan elit yang menyergap gembong narkoba di sebuah wilayah yang memiliki keterbatasan ruang bergerak. Mereka kemudian harus menghadapi beberapa orang penjahat secara bertahap, sebelum kemudian bertemu bos besar. Namun, bila The Raid berseting di sebuah apartemen bertingkat di mana setiap tingkatan berbeda pula kemampuan bela diri penjahatnya; DPO berseting di sebuah perkampungan kumuh (slump area) fiktif bernama Kampung Rawa Keling (catatan : saya tidak ingat nama kampung ini karena begitu “terpukau” oleh “keajaiban” filmnya) yang mengingatkan saya dengan kompleks penjara di film Mel Gibson yang berjudul Get The Gringo (2012) atau perkampungan kumuh di film aksi bernuansa politis produksi Filipina, On The Job (2013).

Bedanya lagi, film-film aksi yang saya sebut sebagai referensi memperlihatkan batasan-batasan ruang yang menjadi tempat penyergapan. Dan mereka punya rencana dan strategi sebelum menyergap. Di DPO, kita tidak menemui pengenalan ruang ataupun strategi. Pokoknya mereka asal hajar saja.

Ada lima karakter utama dalam DPO.

Julie (Nabila Putri), seorang polisi perempuan yang sebenarnya ingin ditampilkan bak Black Widow milik Scarlet Johannson. Dia digambarkan sebagai perempuan yang cantik dan memiliki kemampuan bela diri, serta manipulasi; Andi (Afdhal), si ahli pelempar pisau; Ganta (Thomast Joseft), si playboy; Tatang (Deswyn Pesik), sosok yang sekilas (saya curiga) ingin ditampilkan sebagai pengganti Yayan Ruhyan. Kemampuan bela dirinya mumpuni dan dia petarung jalanan. Juga anak yang berbakti kepada ibu dan adiknya. Tatang memiliki perasaan khusus dengan Julie; lalu si jagoan utama, Kapten Sadikin (the one and only, Gatot Brajamusti), yang digambarkan sebagai sosok karismatik, memiliki selera humor (??), family man dan seabrek atribut positif lainnya. Saking karismatik dan melegendanya Kapten Sadikin ini, hingga membuat keempat karakter lainnya manut saja saat diajak melakukan operasi berbahaya. Yang tanpa rencana dan tanpa strategi. Pada satu momen puncak, Kapten Sadikin ini harus dibuat skenario khusus yang membuat dia harus membuka baju. Entahlah apa relevansinya dengan penceritaan. Mungkin ingin memperlihatkan otot-otot AA Gatot yang di awal film diperlihatkan sering melakukan push-up.

Tujuan kelima jagoan ini adalah untuk menangkap Bos Satam, yang disebut sebagai penjahat internasional. Informasi “penjahat internasional” ini, sangat sering diucapkan dalam dialog sepanjang film. Entah apa tujuannya.

Dalam sekuens pembuka, Bos Satam dan gerombolannya terlihat mengeksekusi dua orang polisi. Dalam kilas baik, kita diberitahu ternyata salah satu polisi itu adalah menantu (atau anak?) Kapten Sadikin.

Kematian anak (atau menantu?) itulah yang membuat Kapten Sadikin bertekad meringkus Bos Satam. Atasan Kapten Sadikin tak mengizinkan dia untuk memakai detasemen resmi. Karena itulah, dia lalu membentuk satu tim khusus yang terdiri dari orang-orang pilihan. “Tim elit kepolisian”, begitu kata Ganta menyebut tim ini.

Lalu beraksilah tim DPO yang dipimpin oleh, tentu saja, AA Gatot sebagai Kapten Sadikin.



MASIH MENGAKOMODIR KENARSISAN AA GATOT

Ada banyak time lapse dalam DPO.

Time lapse lewat footage suasana Jakarta dari siang ke malam, dari malam ke siang. Juga time lapse footage hiruk pikuk jalanan Jakarta. Juga time lapse adegan kegiatan tim DPO untuk menimbulkan efek keren dan dinamis. Beberapa penggunaan footage terlihat jelas diulang-ulang. Menunjukkan bahwa film ini kekurangan stock shots dan pengulangan footage dimaksudkan untuk memperpanjang durasi.

Niatan untuk tampil “keren” memang jelas terlihat di film ini. Lewat dialog-dialog menggelikan dalam format bahasa Indonesia baku, yang lewat pengarahan sutradara yang amat buruk, membuat Anda ingin tertawa. Niatan keren juga diperlihatkan dengan pemberian nama karakter. Ada dua aktor anak yang menjadi anak Bos Satam dan diberi nama ‘Oliver’ dan ‘Edward’. Kedua aktor anak ini terlihat jelas ingin sungguh berakting, namun (lagi-lagi) lewat pengarahan yang amat buruk dari sutradara, justru terlihat menyebalkan dan membuat Anda ingin menampar wajah mereka. Niatan tampil keren juga disajikan lewat dialog bahasa dalam Bahasa Inggris antara Kapten Sadikin, atasannya dan seorang perwakilan dari Tionghoa. Tak jelas apa yang mereka bicarakan, yang penting hanya untuk kesan “keren” saja.

Ada pula upaya menghadirkan karakter perempuan seksi ”femme fatale” yang ditujukan untuk menampilkan twist (dan juga peluang sekuel). Karakter ini pun ditampilkan dengan demikian buruknya. Tak jelas juntrungannya dan membuat Anda bertanya, “Masa tidak bisa mengecek latar belakangnya dahulu sebelum menerima sebagai sekretaris?”.

Karakter perempuan itu bukan satu-satunya karakter janggal yang muncul dan hilang tanpa jejak. Masih banyak lainnya. Mungkin aktor yang melakukannya memiliki kekerabatan khusus dengan AA Gatot atau produser. Entahlah. Cuma mereka yang bisa menjawabnya.

Logika memang tak dipedulikan dalam DPO. Dalam satu adegan, diperlihatkan beberapa karakter penting menemui ajal (tak akan saya ceritakan supaya Anda menyaksikan sendiri). Yang menggelikan adalah kematian para karakter itu pun tak dipedulikan dan tak memiliki arti.

Yang membuat Azrax (Sindikat Melawan Perdagangan Wanita) menjadi film kategori “it’s so bad, it’s good” adalah kenarsisan AA Gatot. Di DPO, porsi peran AA Gatot sudah banyak berkurang. Di film ini, Kapten Sadikin miliknya lebih berfungsi sebagai mentor. Tapi, saat dia muncul di layar, kenarsisannya tak hilang. Kapten Sadikin satu-satunya karakter yang sepertinya peluru pun enggan menembusnya. Dalam satu momen diperlihatkan seorang anak pun rela mengorban diri untuk Kapten Sadikin. Saking karismatik dan tak bisa disentuhnya karakter ini. Ekspresi Kapten Sadikin kerap diambil secara close-up, saat dia mengeluarkan ekspresi layaknya seseorang yang ingin tampil selfie, di mana memperlihatkan ekspresi marah, namun ingin tetap terlihat menawan. Sungguh menggelikan.

Elemen lain yang membuat Anda geli pun muncul bagaimana karakter Satam milik Toro Margens ditampilkan. Bos Satam adalah antitesis dari karakter Ray Sahetapy di The Raid. Lihat saja sendiri, bagaimana film ini menyia-nyiakan talenta Margens yang memiliki potensi untuk menjadi penjahat yang menyeramkan.

Oh, iya! Saya menyebutkan bahwa adegan aksi DPO sebenarnya dilakukan secara serius. Hal itu memang terlihat. Koreografi yang dirancang oleh Deswyn Pesik menunjukkan bahwa adegan tarung di film ini, setidaknya, dipersiapkan dengan sungguh-sungguh. Hanya saja, kerja kamera yang tidak jelas memupus keseriusan itu. Seringkali bekerja dalam gaya “Jason Bourne”. Tapi, pengadeganannya yang buruk. Kita tidak bisa melihat dengan jelas gerakan karena kita merasa disorientasi. Belum lagi sound effect yang amat bising. Kesungguhan koreografi ditutupi oleh kebisingan suara efek itu. Belum lagi upaya sutradara untuk menghadirkan para penjahat dalam dialog dan gesture yang dimaksudkan untuk menjadi ikonis. Seperti gesture ikonis Yayan Ruhyan dan ucapannya, “ Biar greget”. Tapi yang muncul adalah upaya itu amat menggelikan. Mengundang tawa, namun tawa yang memang mengolok kekonyolannya.



“SOK ASYIK”

Begitulah attitude DPO. Sebuah attitude yang bisa Anda temukan saat Vicky Prasetyo mengeluarkan dialog-dialog bahasa Inggrisnya. Attitude “sok asyik” itulah yang jelas terlihat di sepanjang film. Mau menjadi “keren”, tapi yang kita temukan adalah “cemen”. Tragisnya, film ini bahkan tidak mampu mengulang “keasyikan” saat menonton Azrax. Durasi film ini terasa amat panjang, sepanjang waktu yang kita butuhkan untuk mengenali batas-batas lokasi penyergapan di filmnya.

DPO turut diproduksi oleh Putaar Production, rumah produksi di balik Garuda Superhero. Ciri khasnya bisa ditemui, yaitu penyempilan atribut reliji. Dalam DPO, beberapa kali kita mendengar suara lantunan ayat-ayat dalam bahasa Arab. Entah itu ayat Kitab Suci atau bukan. Ciri khas lainnya ada di keamburadulan cerita yang entah untuk mengakomodir kepentingan siapa. Padahal Putaar Production pernah memproduksi beberapa film yang secara kualitas cukup baik. Seperti Kun Fayakun atau Pengejar Angin.

Ada hal lain yang memperlihatkan bahwa DPO masih memiliki keseriusan. Yakni, upaya penata suara dalam menghadirkan musik yang memiliki nuansa elektro kental dan penyuntingan (yang saya yakin) berupaya keras menambal sulam adegan demi menghadirkan sebuah cerita dari materi mentah yang porak poranda.

Keseriusan menghadirkan aksi, musik dan penyuntingan (serta poster!) yang membuat saya memberikan DPO setengah bintang. Bila ketiga hal itu tidak ada, maka saya tidak akan ragu memberi film ini nol bintang atau bahkan unrated.

(0,5/5)

Reviewed at Blok M Square XXI on September 15, 2016

A L.M Belgiant, Brajamusti Films dan Putaar Films Production presentation

Executive Producers : Gatot Brajamusti, Eddy Wijaya, H.R. Dhoni Ramadhan

Producers : H.R. Dhoni Ramadhan, Gatot Brajamusti, Pietra M. Paloh

Story based on idea of L.M. Belgiant

Director : L.M. Belgiant

Script : Rusli Rinchen

Editor : Aristo Pontoh, Endjah Praboe

Dialog editor : Doyok Ikhsan

Sound Design : Erik Syarkoni

Sound Designs : Khikmawan Santosa, Syamsurrizal

Sound Effect : Syamsurrizal, Adhitya Indra

Sound Post Producer : Diaz Verdy Erwin

Action choreography : SPC Stunt Team

CGI : Iqbal Rejeki Awal

Art director : Jay

Action Director : Deswyn Pesik

Music arranger : Thoersy Argeswara

Sound recordist : Voby

Casts : Gatot Brajamusti, Nabila Putri, Thomast Joseft, Afdhal, Deswyn Pesik

Leave a comment