The Jungle Book Analysis: A Tale Of How Living A Life In Harmony

by @Picture_Play

April 21, 2016

” Ini adalah deklarasi hukum rimba, yang usianya sudah setua dan sama sejatinya dengan langit di angkasa. Serigala yang mematuhinya akan hidup sejahtera, yang melanggarnya akan hidup nestapa dan binasa. Sebagaimana sulur-sulur yang melilit batang pepohonan, hukum ini bersifat mengikat seluruh hewan. Seperti kekuatan kawanan yang bertumpu pada serigalanya; dan kekuatan seekor serigala yang bertumpu kepada kawanannya,”




Terdapat satu momentum di The Jungle Book– film adaptasi terbaru dongeng klasik Rudyard Kippling berjudul sama- yang membuat saya patah hati. Momentum di mana induk serigala bernama Raksha (disuarakan dengan sangat keibuan oleh aktris pemenang Oscar, Lupita Nyong’o) berkata kepada Mowgli (diperankan oleh aktor cilik pendatang baru Neel Sethi), bahwa dia akan selalu menganggap bocah anak manusia yatim piatu itu sebagai anaknya,

Never forget this. You’re mine, mine to me. No matter where you go, or what they may call you, you will always be my son..”

Adegan yang dieksekusi dengan sangat baik ini sangat dramatis dan emosional. Sebuah ekspresi dan pernyataan kecintaan seorang ibu tanpa syarat kepada anaknya meski dia berbeda rupa, bahkan spesies. Bahwa sang ibu akan selalu mencintai dan menyayangi sang anak, apapun yang terjadi. Di layar bioskop, Nyong’o memang memiliki rupa sebagai serigala, namun suaranya menyampaikan energi seorang perempuan yang mencintai anaknya secara tulus dan tanpa pamrih. Suara Nyong’o terdengar bergetar menahan kepedihan dan air mata yang berhasil dihantarkan ke para penonton. Sementara Neel Sethi mampu menanggung tanggung jawab besar di pundaknya sebagai pemikul cerita besar. Ia tampil menggemaskan, mencengangkan, dan meyakinkan sebagai Mowgli.

Mata saya berkaca-kaca menyaksikan adegan itu.

The Jungle Book versi paling mutakhir keluaran Disney ini memang sebuah suguhan yang nyaris seratus persen diproduksi dengan sentuhan animasi komputer canggih. Film ini bak hasil keluaran sebuah laboratorium efek visual yang mereka ulang seluruh detail hutan tropis dan seluruh mahluk di dalamnya dalam balutan teknologi digital. Pepohonan, binatang-binatang, ceruk dan kubangan, sumber mata air, hingga ke padang ilalang di dalam film ini adalah ilusi teknologi. Di kredit akhir, film ini bahkan menegaskan bahwa seluruh alam dan ekosistem yang tampil di film ini, “ diproduksi di sebuah studio di Los Angeles” Hanya karakter Mowgli yang benar-benar mahluk hidup sejati. Akan tetapi, film ini tidak terasa sebagai sebuah sajian produk hasil pabrikasi laboratorium canggih. Sentuhan manusiawi tetap diutamakan, sehingga The Jungle Book memiliki ruh sebagai sebuah film  yang diproduksi dengan pendekatan filmmaking moderen, namun dengan gaya penuturan klasik film-film di era keemasan Hollywood.

The Jungle Book berhasil menyandingkan dua pendekatan kontradiktif yang amat jarang berhasil dipadupadankan oleh film-film produksi studio besar Hollywood selama beberapa dekade terakhir, memukau dari aspek efek visual dan memikat dari aspek storytelling.

Disutradarai oleh Jon Favreau, seorang sineas (dan juga aktor) yang cenderung sering dianggap remeh oleh penikmat film. Nama Favreau lebih dikenal sebagai pengarah di dua film adaptasi komik superhero, Iron Man dan Iron Man 2, sebuah pencapaian yang kemudian bisa dimaklumi mengundang pandangan sinis bahwa ia adalah filmmaker yang bergantung kepada kecanggihan teknologi. Tudingan meremehkan semakin diarahkan kepadanya saat filmnya yang sama-sama mengandalkan efek visual, Cowboy & Alien, gagal meraih simpati kritikus dan pencapaian box-office. Namun, penikmat film sering lupa bahwa Favreau juga membuat film drama indie berskala kecil, Chef, yang murni mengandalkan kekuatan narasi dan kesensitifannya dalam mengarahkan skenario.

Di The Jungle Book, Favreau membuktikan dirinya lebih sebagai seorang  Rob Reiner, ketimbang seorang Michael Bay.

Suatu hal yang musykil bagi seorang sineas kapiran untuk bisa memberikan kedalaman dimensi humanisme dalam sebuah film produksi  studio besar yang diperuntukkan sebagai pengembangan sebuah brand; sebagai sebuah medium yang ditujukan untuk menarik minat penonton dalam jumlah masif (dibaca : fungsi komersial) seperti The Jungle Book. Segala aspek dalam film ini memang masif dan gigantic. Detailnya, para aktor yang menyuarakan karakter-karakternya, hingga pada keambisiusan penggunaan teknologinya. Dengan kebesaran skala produksinya, tentu Disney mengharapkan The Jungle Book untuk meraup marjin keuntungan besar.

Tetapi, Favreau membuktikan bahwa dia memiliki posisi tawar agar interpretasinya terhadap karya klasik Rudyard Kipling ini tetap memiliki ruang-ruang untuk penyegaran dan memberikan sentuhan gagasan pribadinya. Favreau mengakomodasi agenda Disney agar The Jungle Book memiliki elemen yang mutlak dimiliki sebuah upaya pengembangan lebih lanjut dari sebuah brand yang dimiliki studi tersebut. Dia memberikan ruang bagi beberapa aspek yang muncul dalam animasi klasik produksi terdahulu (musikal, nilai-nilai hiburan keluarga), sekaligus menyempilkan gagasan dan kritiknya terhadap isu lingkungan hidup, serta hubungan antara manusia dan alam, pun dengan muatan filosofis keagamaan.

Hal-hal yang dipadupadankan secara nyaris sempurna oleh Favreau, membuktikan bahwa The Jungle Book miliknya ini sebagai bukti kepiawaiannya dalam menyelaraskan berbagai fungsi dan talenta dalam sebuah orkestrasi narasi yang apik dan ciamik. Membuktikan bahwa dirinya adalah seorang jenderal di produksi film yang—bila ia diberi kesempatan dan keleluasaan—secara mumpuni menghadirkan sebuah harmoni yang terintegrasi.

“Law of the Jungle yang dideklarasikan secara berulang-ulang di film ini berfungsi sebagai plot device, yang akan memicu konflik, sekaligus menjadi kunci penyelesaiannya. Hukum yang puitis dan sekaligus berdaya magis. Dan inilah kekuatan sesungguhnya dari penceritaan Favreau, bahwa ia menjadikan Law of the Jungle sebagai pondasi cerita.”



DEKLARASI LAW OF THE JUNGLE SEBAGAI PONDASI UTAMA

Favreau sedari awal film memang menawarkan sebuah konsep hidup dalam harmoni dalam The Jungle Book. Sekuens pembuka membawa penonton menelusuri hutan hujan tropis tempat Mowgli dan “habitat”-nya hidup, sebagai sebuah tempat surgawi. Kamera bergerak memperlihatkan secara saksama dalam establishing shot  detail pepohonan dan berbagai mahluk di dalamnya yang hidup secara damai. Gambaran ideal sebuah taman firdaus di pseudo-India yang masih murni dan perawan.

Menontonnya dalam format IMAX 3D sungguh membuat sensasinya berhasil menyedot imajinasi penonton untuk masuk ke dalam dunia rekaan Favreau. Detailnya sungguh mengagumkan. Tidak kentara bahwa semua yang disuguhkan di layar adalah hasil kreasi komputerisasi. Semuanya terasa hidup dan bernapas. Bahkan penonton seolah bisa mencium aroma basah dan segarnya hutan yang diperlihatkan di layar.

Awalnya hidup Mowgli berlangsung damai dan tentram. Ia berlari-lari dengan kawanan serigala sepengasuhannya dan hingga akhirnya ada suara semak perdu yang disebabkan oleh sebuah mahluk besar yang mengejar Mowgli. Dan suara gedebum muncul, diiringi oleh kemunculan seekor macan kumbang berwarna hitam pekat menyergap Mowgli.

Macan kumbang itu bernama Bagheera, yang disuarakan dalam dialek dan logat British oleh aktor pemenang Oscar , Ben Kingsley. Dia adalah “ayah angkat” Mowgli, yang menyelamatkannya dari maut semasa kecil dan kemudian membawanya ke kawanan serigala untuk diasuh. Kisah film ini juga dibawakan oleh Bagheera, yang di awal film menuturkan bahwa kisah di film ini adalah, “ salah satu dari sekian banyak kisah aneh yang terjadi di hutan”.

Dari sana penonton diajak menelisik ke kehidupan harmonis yang terjadi antara Mowgli dan mahluk hutan lainnya. Ia adalah sebuah anomali.. anak manusia, namun dibesarkan oleh sekawanan serigala, di bawah pimpinan alpha-wolf yang bijak, Akeela (disuarakan oleh Giancarlo Esposito) dan sang induk, Raksha. Mengingatkan akan kisah pendiri kota Roma, Romulus dan Remus, yang juga diasuh dan dirawat oleh serigala sedari kecil.

Hidup para mahluk hutan dan Mowgli memang dalam suasana harmonis dan damai. Disatukan oleh sebuah hukum yang mengikat seluruh mahluk yang hidup di dalamnya. Sebuah hukum yang bernama Law of the Jungle, yang dideklarasikan secara berulang-ulang, berfungsi sebagai mantera, pranata, dan juga penjaga dari berbagai kepentingan dan insting alami merusak para mahluk di dalamnya.

“ Ini adalah deklarasi hukum rimba, yang usianya sudah setua dan sama sejatinya dengan langit di angkasa. Serigala yang mematuhinya akan hidup sejahtera, yang melanggarnya akan hidup nestapa dan binasa. Sebagaimana sulur-sulur yang melilit batang pepohonan, hukum ini bersifat mengikat seluruh hewan. Seperti kekuatan kawanan yang bertumpu pada serigalanya; dan kekuatan seekor serigala yang bertumpu kepada kawanannya,”

Law of the Jungle yang dideklarasikan secara berulang-ulang di film ini berfungsi sebagai plot device, yang akan memicu konflik, sekaligus menjadi kunci penyelesaiannya. Hukum yang puitis dan sekaligus berdaya magis. Dan inilah kekuatan sesungguhnya dari penceritaan Favreau, bahwa ia menjadikan Law of the Jungle sebagai pondasi cerita.

Kita juga diajak menyaksikan keefektifan dan kekuatan hukum tersebut. Sesekali dalam suatu masa, para mahluk hutan berkerumun di sebuah mata air di mana mereka hidup saling bersanding dan tidak memangsa satu sama lain, mengitari sebuah “ batu perdamaian” yang berfungsi sebagai Ka’bah dalam keyakinan umat Islam. Buaya, landak, ular, menjangan, buruk merak, badak, serigala, dan seluruh mahluk hutan menikmati sumber mata air tanpa was-was. Mereka menghormati satu sama lain. Sebuah sindiran kepada manusia yang kerap melupakan toleransi dan mengutamakan egoisme pribadi.

Akan tetapi, selalu ada perusak tatanan kehidupan harmoni. Perusak itu muncul dari sosok Shere-Khan (disuarakan dengan amat karismatik dan mengintimidasi oleh aktor Inggris, Idris Elba). Harimau Bengali berukuran dramatis ini berlagak bak raja rimba. Ia mempertanyakan kehadiran Mowgli, anak Adam yang dianggapnya justru bisa merusak tatanan hidup harmoni di hutan tersebut. Ia mengangkat isu bahwa Mowgli, sebagaimana anak Adam lainnya, adalah mahluk perusak di usia dewasanya nanti. Shere-khan mengingatkan akan tragedi “bunga merah” , produksi manusia, yang bisa membumihanguskan hutan tempat mereka tinggal. Dan Shere-Khan mengancam akan membinasakan Mowgli dengan tangannya sendiri.

Akeela, Raksha, dan kawanan serigala lantas berembuk dan berdiskusi mencari jalan tengah terbaik.  Sebuah forum demokrasi yang lagi-lagi menyentil para pimpinan republik ini bagaimana semestinya mereka mengupayakan kesejahteraan rakyatnya tanpa dorongan ambisi pribadi. Meski mengakui bahwa Shere-Khan ada benarnya, kawanan serigala itu merasa berat hati melepaskan Mowgli yang sudah kadung menjadi bagian mereka. Mowgli bersikap dewasa dan arif, mengajukan keputusannya untuk mengasingkan diri.

Tidak mudah bagi Mowgli untuk lepas dari keluarga serigalanya. Terlebih dengan ancaman Shere-Khan yang terobsesi ingin memenuhi agenda pribadinya. Di tengah jalan, Mowgli bertemu dengan sosok beruang madu gembul jenaka, Baloo (disuarakan oleh Bill Murray),hampir dimangsa ular anaconda raksasa Kaa (disuarakan dengan menggoda dan seksi oleh Scarlett Johansson), serta hampir diperbudak oleh raja orangutan, Louie (disuarakan oleh Christopher Walken) yang memiliki obsesi menguasai “bunga merah”.

Tidak mudah pula bagi Mowgli untuk berdikari. Lewat segala aral rintangan, Mowgli akhirnya berhasil menemukan jati diri dan hakikat eksistensinya sebagai seorang manusia, yang membimbingnya memaknai  kekuatan dirinya sebagai alat untuk kembali menciptakan harmoni.



ORKESTRASI BERBAGAI ELEMEN DALAM MEMBENTUK HARMONI NARASI

Screenplay karya Justin Marks terasa begitu gamblang dalam mengarahkan narasi film ini tidak hanya sebagai film untuk keluarga, tetapi juga melampirkan berbagai opini mengenai isu lingkungan hidup, kritik terhadap industrialisasi, dan bermuara pada gagasan idealnya mengenai hubungan antara manusia dan alam. Naskahnya secara unik mempertahankan pakem dari materi asli milik Kipling, memberikan ruang penghormatan kepada film animasi tahun 1967, sekaligus memperkaya ceritanya ke tahapan spiritual.

Menarik karena Justin Marks adalah seorang penulis naskah yang selama ini belum menemukan mojo-nya. Baca keluh kesahnya hidup sebagai juru tulis cerita yang kerap dikesampingkan oleh industry Hollywood (My life as a screenwriter you’ve never heard of, HollywoodReporter). Tetapi selepas The Jungle Book, nama Justin bisa dipastikan melesat ke jajaran penulis naskah paling diminati.

Cerita asli milik Kipling sendiri sedari semula memang memiliki tone gelap, karena memiliki isu konspirasi dan pembunuhan. Di film animasi tahun 1967, Disney membuat ceritanya menjadi ringan karena diusung dalam konsep animasi buatan tangan 2 dimensi dan dikemas dalam format musikal.

The Jungle Book tulisan Justin dan arahan Favreau, membawa kisahnya menjadi lebih gelap dan dewasa. Lihat saja bagaimana desain binatang-binatang di dalamnya. Kaa sang anaconda dan Louis si raja orangutan, akan memberikan mimpi buruk bagi anak-anak. Bahkan bagi penonton dewasa, tampilan dua binatang tersebut tetaplah mengerikan. Tetapi, Favreau berhasil memberikan sentuhan manis ke filmnya lewat pengaturan pace dan ritme penceritaan, karakter-karakter binatang imut sebagai pelepas ketegangan, hingga ke nomor musikal sebagai penghormatan ke animasi klasiknya. Nomor-nomor lagu seperti Bare Necessities yang dinyanyikan secara duet manis antara Mowgli dan Baloo; I Wanna Be Like You yang dinyanyikan oleh Raja Louie sebagai simbol ekspresi megalomaniac sang raja kera; lagu Trust in Me yang dibawakan secara menggoda, menghipnotis, dan berbahaya oleh Kaa milik Scarlet Johansson; hingga ke lagu That’s What Friends Are for dan lagu march para gajah, berfungsi sebagai nostalgia dan sekaligus memperkenalkannya ke penonton belia.

Nomor-nomor lagu tersebut juga berfungsi sebagai elemen penguat cerita, yang disesuaikan dengan karakter hewan yang menyanyikannya, juga pelepas ketegangan. Seperti fungsi lagu-lagu dalam film produksi Bollywood.

Favreau juga memainkan perspektif di ukuran desain para binatang utama di film ini, untuk menjelaskan fungsi dan strata mereka dalam piramida dan rantai makanan. Perhatikan ukuran Baloo, Bagherra, Raksha, Akeela, Kaa, Raja Louie, Shere-Khan, dan para gajah yang sangat tidak normal bila dibandingkan ke ukuran alami mereka. Binatang para “bintang utama” film ini ditampilkan memiliki ukuran sangat besar. Seolah menegaskan bahwa mereka adalah para anggota majelis terhormat dewan hutan. Bahwa mereka adalah pemimpin dan memiliki fungsi krusial dalam penceritaan.

Yang lebih menarik adalah bagaimana Favreau membangun dunia di The Jungle Book dengan sangat teliti dan saksama. Semua elemen di film ini terasa bahu membahu dan berkolaborasi secara lebur, menguatkan satu sama lain.

Komposisi musik karya John Debney mampu menghadirkan orkestrasi ilustrasi yang kadang megah, dramatis, lirih, dan terkadang syahdu. Menguatkan atmosfer di setiap adegan yang dimaksud dengan jeli dan terperinci. Perasaan penonton dibuat campur aduk dan naik turun. Musik gubahan Debney terasa seperti menyaksikan sebuah pertunjukan teater panggung musikal, seperti mendengarkan ilustrasi musik dari film-film klasik nan legendaris seperti Wizard of Oz, Gone with the Wind, atau Lawrence of Arabia. Sebuah hasil yang tak diragukan akan diganjar, atau bahkan memenangkan, Piala Oscar.

Sinematografi arahan Bill Pope kerap menyorot subjeknya lewat low angle dan German Expresionist-shots untuk memberikan kesan dan atmosfer film noir klasik, sekaligus mengagungkan mahluk-mahluk di filmnya. Membawa kesan mayestik dan memuliakan.

Penyuntingan karya Mark Livolsi juga tak kalah cakapnya. Gunting digitalnya secara piawai memotong dan menjahit berbagai adegan, serta mengatur tempo penceritaannya. Aliran film ini terasa organik, seorganik berbagai kreasi rekaya digital di dalam film ini.

Tak percuma Disney mempekerjakan nama-nama aktor besar untuk mengisi suara para hewan. Kebanyakan di film animasi (atau yang memanfaatkan teknologi motion-capture), aktor bernama besar lebih difungsikan sebagai “alat jualan”, sebagai komoditas public relation. Namun, di The Jungle Book, aktor-aktor besar menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Tidak hanya menyuarakan, tetapi juga memberikan ruh di dalam karakternya.

Dengar saja betapa menggoda dan berbahayanya Kaa milik Scarlet Johansson. Dia melafaskan setiap dialog dengan seduksi, dengan teknik merayu kelas mumpuni. Keputusan Favreau membawakan karakter Kaa lewat Scarlet Johansson (aktor yang kerap berkolaborasi dengannya), seolah memperlihatkan maksud sutradara untuk menjadikan Kaa seperti ular dalam Kita Suci, yang menggoda Adam dan Hawa untuk masuk dalam perangkap.

Aktor-aktor berkebangsaan Inggris seperti Kingsley dan Idris Elba, berhasil membuat karakter hewan yang mereka suarakan, seperti memiliki jiwa aristokrat. Pelafasan dialog mereka gamblang dan diartikulasikan dengan pendekatan teatrikal. Sementara Bill Muray dan Christopher Walken memberikan unsur swagger dan keflamboyanan dalam karakter Baloo dan Raja Louie. Memberikan impresi bahwa karakter mereka berdua adalah “raja” di kelas pinggiran, di kelas masyarakat underground. Bila ada nominasi untuk “aktor pengisi suara terbaik” di Oscar, para casts di film ini dipastikan akan memborong pialanya.



HARMONISASI PILAR ETHOS, LOGOS, DAN PATHOS

Favreau menjadikan The Jungle Book miliknya sebagai materi presentasi yang tidak hanya memiliki fungsi imajinatif dan eskapis, melainkan persuasif. Ia membujuk para penonton untuk tidak hanya membeli tiket dan berbagai turunan produk film ini nantinya, juga merayu khalayak “membeli” gagasan besar yang ditawarkannya, soal mitologi, spiritualisme, dan memaknai alam.

Hal tersebut menjadikan The Jungle Book milik Favreau memiliki tiga pilar utama dalam komunikasi persuasive, yaitu ; a) ethos : karakter dan kredibilitas dari seorang pembicara (dalam hal ini sutradara); b) logos : bukti logis yang disampaikan filmmaker tentang gagasan yang diusungnya; dan c) pathos : kemampuan sang filmmaker dalam membangun hubungan emosional antara dirinya dan audiens lewat presentasinya.

Favreau menghadirkannnya lewat berbagai sub-teks dan pesan implisit lewat berbagai adegan yang subtle.

Contohnya adalah bagaimana ia memasukan isu industrialisasi yang selama ini menjadi produk pikiran manusia dan menghancurkan alam lingkungan. Dalam The Jungle Book digambarkan bahwa hutan tempat Mowgli dan para hewan tinggal, berdampingan langsung dengan desa tempat para manusia bermukim dan beranak pinak.

Selama ini, mereka hidup berdampingan tanpa saling mengganggu. Hanya saja para hewan, mengkhawatirkan bila suatu saat “bunga merah” kreasi manusia akan menghancurkan ekosistem mereka. “Bunga merah” di sini adalah api, merupakan simbol dari industrialisasi.

“Bunga merah” di film ini juga merupaka metafora dari pengetahuan, sumber dari lahirnya industrialisasi. Seperti metafora yang dicantumkan dalam dongeng Yunani kuna, saat dewa Prometheus memberikan api kepada manusia, dengan mencurinya dari senjata halilintar milik Dewa Zeus di Gunung Olympus. Zeus yang mengetahui hal itu, lalu menghukum Prometheus yang diikatnya di kaki gunung. Alasan Zeus adalah bahwa bila manusia diberi api (dalam arti harfiah atau kiasan dari ilmu pengetahuan), maka manusia akan menggunakannya secara semena-mena.

Hal yang sama secara implisit disampaikan Favreau dan Justin Marks dalam The Jungle Book. Bahwa Mowgli, suatu saat akan mendapat pengetahuan dan “bunga merah” yang akan bisa meluluhlantakkan hutan.

Di film ini, dalam suatu adegan, juga diperlihatkan bagaimana Mowgli dan Bagheera menjura dan menghormati sekawanan gajah yang melewati mereka. Bagheera berkata bahwa gajah adalah mahluk agung yang menciptakan hutan dan mengatur mata air dengan membangun kanal-kanal yang mengaliri, serta menjaga kelestarian hutan.

Dalam budaya dan filosofis relijius India, gajah memang digambarkan memiliki sifat ketuhanan. Hal yang juga disebutkan oleh penulis Heinrich Zimmer dalam bukunya, “Philosophies of India” keluaran tahun 1952. Gajah dalam personifikasinya lewat sosok Dewa Ganesha—mahluk berkepala gajah dan berbadan manusia- adalah perlambang kebijakan dan pengetahuan.

Dalam The Jungle Book, Favreau memperlihatkan kawanan gajah sebagai mahluk agung tak tersentuh. Lewat low angle shots, film ini memujakan, memuliakan dan mengagungkan gajah. Hewan ini bahkan hidup terpisah dan tak berinteraksi dengan para hewan lainnya. Seolah ingin menegaskan bahwa gajah memiliki kasta tersendiri, para hewan pun mengagungkannya, dan kawanan gajah mempunyai ruang ekslusif, yang hanya dimiliki para dewata.

Adegan terakhir saat Mowgli berhasil membawa kembali hutan ke dalam bentuk harmoninya setelah membinasakan Shere-Khan, para gajah menghampiri bocah itu. Para hewan yang mendengar raungan para gajah di kejauhan, merasa terkesima karena tahu bahwa para mahluk yang mereka agungkan akan turun tangan memadamkan sisa “bunga merah”.

Namun, para hewan semakin terkejut tatkala melihat Mowgli menaiki salah satu gajah. Mereka lalu secara serentak mengaum, melolong, dan melontarkan seruan yang memecah keheningan malam. Seolah memuja, mengagungkan, dan mendoakan Mowgli.

Hal ini karena secara implisit, Mowgli sebagai anak Adam, menunjukan bahwa secara intelektual dirinya lebih unggul dari para gajah, hewan yang selama ini dihormati oleh penunggu hutan lainnya. Mowgli membuktikan bahwa dirinya bukanlah serigala, bukanlah macan kumbang, juga bukanlah beruang. Ia adalah manusia, anak cucu Adam, yang mewarisi derajat tertinggi di antara mahluk ciptaan Tuhan lainnya. Bahkan melebihi para gajah.

Adegan penutup ini juga mengisyaratkan bahwa manusia bisa menghancurkan alam, tapi juga bisa menjalankan fungsinya sebagai khalifah yang membawa berkah bagi alam semesta.

Lolongan dan auman para hewan tatkala melihat Mowgli menunggangi gajah, seperti reaksi para malaikat di surga yang mengakui keunggulan dan ketinggian derajat Adam di taman firdaus. Meski para malaikat, sempat menyangsikan Adam di awal Tuhan menciptakannya.

The Jungle Book mengngatkan sekali lagi, lewat sajian menghibur, bahwa manusia memiliki tanggung jawab besar dalam menciptakan kehidupan harmoni.

Ah, betapa indahnya hidup bila semua manusia seperti Mowgli. I wanna be like you!

(5/5)

Reviewed by @Picture_Play

Now playing in theaters

Reviewed on IMAX 3D format. Highly recommend to watch this movie in IMAX or Sphere-x

Running time : 105 minutes

Production company : Walt Disnet Studio Motion Picture & Farview Entertainment.

Produced by : Joh Favreau, Brigham Taylor

Executive producers : Peter Tobaysen, Molly Allen, Karen Gilchrist,

Directed by : John Favreau

Screenplay by  Justin Marks, based on books by Rudyard Kipling

Camera (color) : Bill Pope

Editing : Mark Livolski

Music : Joh Debney

Production designer : Christopher Glass

Supervising art director : Andrew L. Jones

Art director : John Lord Booth III

Sound (Dolby Atmos), Ronald Judkins

Special effects supervisor, J.D. Schwalm

Special effects coordinator, Gintar Repecka

Visual effects supervisors, Robert Legato, Adam Valdez

Visual effects producer, Joyce Cox

Weta visual effects supervisors, Dan Lemmon, Keith Miller, Joe Letteri

Starring ( and voiced by) : Neel Sethi, Bill Murray, Ben Kingsley, Idris Elba, Lupita Nyong’o, Scarlett Johansson, Giancarlo Esposito, Christopher Walken, Garry Shandling, Brighton Rose

 

 

 

 

6 Comments

  1. Terima kasih ulasannya, Kak. Cantik sekali. Saya sudah nonton filmnya. Dan ketika membaca tulisan Kakak ini, saya cuma bisa bilang ‘ooo..’ sambil manggut-manggut. Dan barangkali saya bakal nonton lagi filmnya, karena menarik untuk membaca filmnya sembari menonton ulasannya. Eh btw, Kaa itu anaconda, ya, Kak? Saya kira piton. Soalnya dia panjang, ada di pohon alih-alih rawa-rawa, dan sepertinya motif kulitnya cenderung terang. Tapi entahlah, saya agak geli sama ular. Hii.. 😦 Btw lagi, sebelum menulis review begini, biasa nonton filmnya berapa kali? Kalau melihat kedalaman dan detail tulisannya, kok rasanya agak susah kalau cuma sekali. Ya gitu, deh. Makasih, Kak, tulisannya. Cantik sekali. Salam.. 🙂

    Liked by 1 person

    Reply

    1. Wah, terimakasih banyak sudah menyempatkan diri membaca tulisanku. Good point!saya juga sempat meragu menulis apakah Kaa itu anaconda atau python. Saya tadinya menulis python, tapi kemudian saya ubah ke anaconda karena ukurannya yang luar biasa Besar. Tapi kalau dari morfologinya, Kaa itu emang lebih mirip ke python. Observasi yang cermat! 🙂

      Biasanya sih saya nonton sekali aja kalau mau review, maklum kan tiketnya bayar sendiri haha. Cuma pas The Jungle Book kebetulan nonton dua kali, pertama di format 3D biasa, kedua pas format IMAX 3D di Indonesia sudah ada, menonton lagi.

      Tapi mostly rata2 cuma sekali menonton film kok sebelum ngereview. Maklum, tiket nonton kan mahal 🙂

      Like

      Reply

  2. Ahh.., begitu, ya? Jadi karena Kaa ukurannya luar biasa besar mangkanya lebih memilih menyebutnya sebagai anaconda kendati secara morfologi (boleh jadi) lebih mirip python. Hmm, bagaimana kalau kita menyebutnya sebagai anaconthon? Atau pythocondra? Yaa.., ini kan film makhluk-makhluk gitu(?). Hahaa.. 😀 Btw terima kasih penjelasannya, Kak! 🙂

    Like

    Reply

    1. Menarik juga usulannya.. Anapython kayaknya lebih seksi daripada “anaconthon” yg bisa dipelesetkan ke yang nggak2 :p.
      Pythocondra bagus juga..kayak bagian sel mahluk hidup, mythocondria haha.

      Makasih juga sudah meluangkan waktu membaca tulisanku, ya. Salam kenal!

      Like

      Reply

Leave a comment