Tiga Dara (1956) : Napak Tilas Dan Telaah Antropologi

September 6, 2016

“Keputusan untuk menonton film klasik tersebut dipicu oleh keinginan untuk melakukan napak tilas, penjelajahan dan mencoba merasakan seperti apa penggambaran Indonesia di zaman itu. Saya selalu percaya bahwa film adalah sebuah media yang merefleksikan kehidupan masyarakat sewaktu film diproduksi.”




Terlalu mengada-ada bila saya mengatakan bahwa alasan menonton film klasik besutan Umar Ismail, Tiga Dara (1956), dipicu oleh keinginan untuk bernostalgia. Karena definisi “bernostalgia” adalah melepaskan rindu dan mengingat peristiwa-peristiwa manis yang pernah saya lalui di masa lampau.

Era semasa Tiga Dara dirilis berjarak hampir empat dekade dengan waktu saya dilahirkan. Bagaimana mungkin saya bernostalgia dengan era yang tidak pernah saya lalui?

Keputusan untuk menonton film klasik tersebut dipicu oleh keinginan untuk melakukan napak tilas, penjelajahan dan mencoba merasakan seperti apa penggambaran Indonesia di zaman itu. Saya selalu percaya bahwa film adalah sebuah media yang merefleksikan kehidupan masyarakat sewaktu film diproduksi. Akan selalu ada gagasan,  pencerminan budaya, gaya hidup, pemikiran, adat istiadat, serta pernyataan sikap sesuai eranya yang termaktub dalam sebuah film. Karena film adalah media yang kompleks. Tak pandang apa pun genre-nya, sebuah film akan memiliki unsur-unsur yang memungkinkan kita melakukan telaah antropologi.

Menyaksikan Tiga Dara hasil restorasi membuat saya tersentak kaget  karena apa yang saksikan di layar terasa masih relevan dengan penggambaran masyarakat Indonesia moderen. Status perempuan masih ditentukan oleh kawin atau tidaknya dia. Bahwa perempuan dewasa akan menjadi semacam “aib” di mata masyarakat kita bila dia tidak lekas mendapat suami. Bahwa seorang perempuan tidak memiliki kuasa untuk memilih jalan hidupnya. Mahluk indah yang selalu diatur-atur dan menjadi atribut layaknya etalase. Paradigma tersebut memang perlahan mulai bergeser, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta yang tatanan kemasyarakatannya sudah tercampur gaya hidup internasional. Tapi, paradigma itu masih bisa kita temui di pinggiran kota dan daerah-daerah. Itulah yang membuat saya tersentak. Enampuluh tahun selepas Tiga Dara, ternyata cara masyarakat kita dalam memandang perempuan tidaklah banyak berubah.

Tiga Dara juga membuat saya tersentak karena melihat betapa demokratisnya penggambaran kehidupan keluarga di dalamnya. Anak-anak perempuan bisa berdebat dengan sang nenek atau sang ayah, tanpa takut untuk jadi kualat. Mungkin saja itu bukanlah perwakilan yang sesungguhnya dari apa yang terjadi di mayoritas masyarakat kala itu. Bisa jadi apa yang kita saksikan di film merupakan gagasan ideal Usmar Ismail tentang sebuah keluarga harmonis yang mengadopsi pemikiran budaya Barat. Terlebih film ini terinsipirasi oleh film komedi musikal klasik Hollywood, Three Smart Girls (1936), arahan Henry Coster. Saat dirilis, 3 Dara kabarnya mendapat status box-office yang artinya film ini mengundang masyarakat untuk berbondong-bondong mendatangi bioskop, suatu hiburan yang masih dipandang mahal untuk takaran kondisi ekonomi masyarakat kala itu. Tidak heran memang bila film ini laris manis, karena apa yang disajikan memiliki sebuah shock value yang lahir dari penggambaran perilaku karakternya yang tidak lazim untuk ukuran saat itu. Menawarkan sesuatu yang berbeda, lewat film yang dikemas sebagai suatu produk hiburan yang ringan dan jenaka di mana para karakternya bersenandung riang, serta bersenda gurau. Selaras dengan misi sebuah film sebagai media hiburan, sebagai media eskapisme terlebih di era selepas berkecamuknya perang di mana Indonesia kala itu sedang membangun identitasnya sebagai sebuah bangsa yang baru merdeka.

Tapi bila ditilik dari karya literatur, apa yang digambarkan di Tiga Dara sebenarnya bukanlah barang baru. Dalam novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana yang dirilis pada 1936 (atau 1937), misalnya, karakter perempuan di dalamnya bahkan digambarkan dengan lebih progresif. Karakter Tuti, si anak sulung dalam novel tersebut, merupakan seorang perempuan yang memiliki karir politik dan bahkan sudah berbicara soal emansipasi wanita. Namun, ada persamaan antara karakter Tuti dan Nunung, anak perempuan sulung di 3 Dara. Karakter keduanya memiliki pandangan sinis terhadap kaum pria. Keduanya pun merupakan pengganti sosok ibu yang hilang dalam keluarga. Perbedaannya, Nunung tidak memiliki karir seperti karakter Tuti. Persamaan antara Tiga Dara dan Layar Terkembang memang tak bisa dikesampingkan. Keduanya terasa mengadopsi budaya dan cara pikir Barat dalam membentuk perilaku para karakternya. Bila Tiga Dara mengacu pada Three Smart Girls, Layar Terkembang mengadopsi gagasan di novel-novel Jane Austen, khususnya Sense and Sensibility.



SEMUA KARENA NUNUNG

Konflik dalam Tiga Dara memang berawal dan berpusat pada karakter Nunung (diperankan oleh armarhumah Citra Dewi), seorang dara anak tertua dari Tuan Sukandar (diperankan Hassan Sanusi) yang belum kunjung menikah meski sudah berusia matang. Nunung di keluarganya berfungsi menggantikan ibundanya yang telah lama mangkat. Dia mengerjakan seluruh urusan rumah tangga, mulai dari memasak, bersih-bersih, menyetrika, hingga membuatkan secangkir teh untuk ayahnya dan menyiapkan “suruh”—Bahasa Jawa untuk menginang yaitu mengunyah campuran sirih, pinang, gambir, tembakau, kapur dan cengkih yang menghasilkan warna oranye pekat di mulut dan gigi— untuk sang Nenek (diperankan oleh mendiang Fifi Young). Kebiasaan mengatur urusan rumah tangga menjadikan Nunung memiliki sifat yang kolot dan kaku. Ia tidak suka bergaul, lebih senang berdiam diri di rumah dan emoh berpesta-pesta. Sifat Nunung turut didefinisikan lewat pilihan busana, dimana dia lebih suka memakai kebaya dan rambutnya disanggul. Fungsi Nunung ini mengingatkan saya terhadap karakter Elinor Dashwood di novel Sense and Sensibility-nya Jane Austen. Keduanya sama-sama menjadi “kepala urusan rumah tangga” yang mengurus semua hal, termasuk dua adik perempuannya.

Nunung pun memiliki dua adik perempuan: Nana (diperankan oleh Mieke Wijaya), si tengah yang luwes dan supel dalam pergaulan. Dia bisa memikat hati para pria lewat keluwesannya, termasuk Bambang (diperankan oleh almarhum Bambang Irawan), teman dekat keluarga. Keluwesan sikap Nana dalam pergaulan pun turut didefinisikan lewat pilihan busana. Dia gemar mengenakan “swing dresses”dan sepatu balet.

Lalu ada si bungsu, Nenny (diperankan oleh Indriasti Iskak). Dia adalah gadis tomboy yang periang dan gemar bercanda, termasuk menggoda neneknya. Dia masih sekolah dan suka bersepatu roda. Sifat Nenny turut didefinisikan lewat pilihan busana. Ia terlihat memakai plaid shirt yang diikat kedua ujungnya dan dipadukan dengan celana panjang cropped trouser.

Sang Nenek yang cerewet dan suka mengatur merasa frustrasi karena Nunung tak kunjung mendapat jodoh. Sang nenek ingin ngunduh mantu dengan segera, sebelum dia tutup usia. Nenek percaya takhyul bahwa adik-adik Nunung tidak boleh menikah lebih dulu dari sang kakak. Sang Nenek pun lantas menjadi mak comblang dan meminta Sukandar, menantunya, untuk mempertemukan Nunung dengan teman-teman pria sejawat. Usaha itu tidak berhasil.

Nenek pun lalu meminta Nana yang supel untuk mengajak Nunung turut serta ke berbagai acara pergaulan. Usaha itu pun tidak berhasil. Malah Nunung yang memakai kebaya dan bermuka masam, dianggap sebagai “tante-tante” di tengah sekumpulan anak muda yang sebenarnya berusia tak berpaut jauh dengannya.

Hingga suatu ketika, Nunung ditabrak oleh skuter yang dikendarai oleh Toto (Rendra Karno). Mereka pun sempat bertengkar. Meski Toto berusaha meminta maaf dan menawarkan diri mengantar hingga ke rumah, Nunung yang keras hati memutuskan untuk naik becak. Toto yang terlihat penasaran dengan sifat keras kepala Nunung, lalu membuntutinya hingga ke rumah. Sebuah formula yang lazim dipakai di screwball comedy yang populer di Hollywood pada zaman Great Depression, mulai dari tahun 1930 hingga 1940’an, di mana kesabaran dan sifat gentleman seorang pria ditantang oleh karakter perempuan yang keras kepala.

Toto jelas memperlihatkan ketertarikan terhadap Nunung. Dia menyambangi rumah Nunung setiap hari dengan membawa bingkisan bunga. Namun, Nunung yang tinggi gengsi berlagak tak peduli. “Kura-kura dalam perahu”, begitu ledek si bungsu Nenny.

Toto yang berwajah simpatik, ternyata menarik perhatian si tengah Nana. Dara ini agresif dan tak sungkan-sungkan menunjukkan perhatian kepada sang pemuda. Lama-lama Toto pun menaruh hati kepada Nana, sedangkan Nunung yang terlanjur menahan gengsi jadi makan hati. Konflik pun terjadi yang membuat dua bersaudari ini terlibat pertengkaran

Keadaan ini kemudian coba diakali oleh si bungsu Nenny yang menjalin kongsi dengan sang ayah. Si bungsu melihat bahwa sebenarnya Nunung dan Toto saling mencintai. Dibuatlah sebuah skenario dengan mengirim Nunung ke rumah kerabat mereka, Paman Tamsil, di Bandung. Sang Nenek menyetujui skenario ini, karena Paman Tamsil memiliki banyak anak lelaki yang bisa dijodohkan dengan Nunung.

Skenario itu berhasil. Toto yang sebenarnya jatuh hati dengan Nunung terbakar api cemburu setelah mengetahui isi surat sang dara yang dibacakan Nenny, bahwa dia menjalin hubungan dengan seorang pria. Tentu saja itu hanya akal-akalan Nenny.

Toto pun menyusul ke Bandung untuk mengutarakan isi hatinya. Tak lama satu keluarga Sukandar pun boyongan ke sana. Tentu saja, akhir cerita berujung kebahagiaan bagi Nunung dan Toto, serta seluruh keluarga.



KEPIAWAIAN USMAR ISMAIL

Mudah untuk mengatakan bahwa di era modern di mana cerita seperti yang ditawarkan oleh Tiga Dara adalah sebuah kisah klise. Terlebih kisah serupa masih terus dipaparkan di sinetron, film layar lebar dan film televisi. Tapi, harap diingat sekali lagi bahwa film ini dirilis di era saat produksi film belumlah segampang sekarang. Dan yang mengagumkan adalah bagaimana Usmar Ismail membuktikan dirinya sebagai sineas yang amat pandai dalam mengarahkan pemainnya dan membentuk sebuah pengadeganan yang jeli, serta cermat. Menimbulkan sugesti bahwa kita percaya dengan ikatan emosional antar pemain. Kala para karakternya bernyanyi, kita percaya bahwa mereka benar-benar menyanyikannya.

Secara produksi dan teknis, Tiga Dara amatlah sederhana. Adegan interior terlihat dan terdengar jelas diambil dalam studio. Beberapa kali terdengar gema yang menunjukkan bahwa suara dialog diambil secara langsung di lokasi di ruang yang tertutup. Gambarnya diambil menggunakan kamera statis yang mengambil pemain, interior rumah, hingga ke pasar di masa Jakarta tempo doeloe. Kadang kamera mengambil close-up pemain, seperti saat Nunung menyanyi atau saat Toto mengejar Nana yang bermain skuter miliknya. Terkadang kamera menangkap beberapa pemain dalam satu frame, menampilkan interaksi mereka. Penyuntingannya menggunakan teknik yang sederhana pula sesuai dengan kebutuhan penceritaan linear. Mengutamakan efek Kuleshov di mana cutting menunjukkan pergantian ekspresi antar pemain menghadirkan konteks emosi pengadeganan dalam cerita. Peralihan antar sekuens seringkali fade-to-black, sebuah pilihan yang lazim digunakan di era itu.

Tapi segala kesederhanaan teknik ditutupi oleh betapa baiknya dialog dan lirik-lirik lagu yang menunjang penceritaan. Dialog yang menggunakan bahasa baku dalam logat Melayu diselingi oleh berbagai pemakaian kata tidak baku. Sopan dan berkelas. Dialognya memiliki nuansa sastra, pun lagu-lagunya yang disusun dari rangkaian stanza. Liriknya sederhana yang dibalut dalam musik jazz hingga irama orkes Melayu yang mengena di hati dan membuat kita tertarik untuk ikut berdendang.

Tengok saja lagu “Bimbang Tanpa Pegangan” yang di film dibawakan oleh karakter Mieke Wijaya, yang suaranya aslinya diisi oleh Siti Nurrohma. Atau lagu “Letnan Hardy” yang dibawakan karakter milik Indriarti Iskak. Keputusan Usmar Ismail bahwa lagu-lagu dalam Tiga Dara dinyanyikan oleh para penyanyi sungguhan adalah tepat. Lagu-lagu adalah nyawa sebuah musikal. Lirik yang ditulis secara interwoven dalam cerita mestilah memiliki emosi dan nyawa. Penyanyi sungguhan mampu memberikan penekanan dan aksentuasi yang akhirnya menghadirkan emosi.

Lebih menarik lagi dari versi klasik ini adalah kesempatan kita untuk melihat bagaimana pergaulan muda-mudi pada masa itu. Mereka saling bercengkarama dalam tatanan norma yang masih dipegang. Dalam suatu adegan kita diperlihatkan tari pergaulan Melayu, yang mewakili di zaman itu kala Tari Serampang Duabelas dijadikan tarian wajib pergaulan muda-mudi. Tentu saja, tarian di film ini bukanlah Serampang Duabelas.

Di lain adegan, kita diperlihatkan para dara dan jejaka menari dalam balutan musik jazz dan cha-cha. Masa ini adalah masa di mana pengaruh Barat masih ditoleransi, sebelum Sukarno memutuskan bahwa pengaruh budaya Barat diharamkan di era 60’an. Kamera pun menangkap momen dansa-dansi ini dengan tepat. Kadang kamera mengambil gambar dari angle tinggi memperlihatkan para muda-mudi yang sedang menari. Di dalam sekuens yang menyajikan lagu “Tamasya”, sebuah lagu bernuansa Melayu yang dibawakan karakter Bambang Irawan, bahkan diperlihatkan para dara mengenakan busana renang one piece.

Namun, yang membuat Tiga Dara teramat istimewa adalah bagaimana kisahnya menampilkan suatu budaya matrilineal  di tengah tatanan hidup Indonesia yang menganut sistem patrilineal. Tentu saja beberapa budaya kita menganut sistem matrilineal, seperti Minangkabau. Dalam satu adegan, Nenek menyebut bahwa bila diperlukan mereka akan meminang Toto untuk Nunung. Membuktikan bahwa kaum perempuan punya kuasa, meski di film ini tidak disebut secara spesifik budaya tertentu.

Menarik juga dilihat bahwa Usmar Ismail membawa kisahnya ke dalam suatu tatanan kehidupan sekuler. Tidak disebutkan secara rinci pula agama apa yang dianut oleh keluarga Sukandar. Usmar Ismail menjadikan keluarga ini sebagai potret keluarga nasional. Tak perlu untuk menjadikan satu agama sebagai pedoman tetap, nilai-nilai yang berlaku adalah norma kemasyarakatan yang kita percayai berlaku di masa itu.



PENTINGNYA RESTORASI DAN PENGARSIPAN INFORMASI PRODUKSI

Tiga Dara hasil restorasi ini terang benderang, meski suara terdengar redup di beberapa bagian. Kritikus dan pengamat film, Toto Indrarto dalam artikelnya yang berjudul “ Merestorasi Masa Lalu dan Masa Depan Kita”, menulis betapa pentingnya arti sebuah restorasi film klasik Indonesia bagi kebutuhan industri film dan kepentingan budaya. Supaya para generasi muda seperti saya bisa melakukan napak tilas sejarah bangsa melalui arsip-arsip sinema. Sinema (yang baik) sebagai karya kreatif bisa relatif jujur dalam menjalankan fungsinya sebagai media yang merefleksikan sejarah, karena sejarah umumnya ditulis oleh siapa yang sedang berkuasa. Setidaknya lewat sinema, kita bisa melakukan telaah antropologi dalam mempelajari ulang apa yang menjadi refleksi kehidupan di suatu masa.

Restorasi Tiga Dara yang dilakukan oleh pihak swasta juga menjadi semacam pengingat betapa pentingnya kita dalam membangun sebuah industri perfilman yang tertata baik dan komprehensif. Kita tidak bisa mengandalkan sepenuhnya dengan pemerintah, yang harus diakui, belum menjadikan pelestarian budaya sebagai prioritas utama. Meski memang idealnya menjaga warisan budaya adalah tugas pemerintah, karena budaya adalah identitas sebuah bangsa.

Sebuah industri film yang sudah terbangun dengan baik akan bisa menghidupi dirinya sendiri, termasuk melakukan restorasi arsip-arsip penting. Berkaca dari industri Hollywood, film-film klasik mereka direstorasi sendiri oleh studio yang menghasilkannya. Hasil restorasi mereka dijadikan aset tersendiri yang akan mereka niagakan, dalam bentuk edisi khusus peringatan film yang bersangkutan, misalnya. Hak kekayaan intelektual  dan copyright pun dipegang oleh studio yang bersangkutan.

Dalam konteks Tiga Dara versi restorasi, tentu saja hak cipta dan copyright pun akan dipegang oleh penyandang dana restorasi. Bila nanti ada yang akan membuat remake Tiga Dara, misalnya, pihak yang ingin me-remake haruslah berurusan dengan si empunya copyright. Dalam hal ini penyandang dana restorasi. Hal yang wajar dalam kepentingan bisnis kreatif. Bisa jadi nantinya Tiga Dara dengan segala asetnya akan mengembangkannya menjadi sebuah produk musikal panggung.

Kembali kepada wacana pembangunan industri film yang komprehensif, bila sudah terwujud maka akan ada kegiatan filmmaking yang benar-benar menghasilkan secara ekonomi dari hulu ke hilir. Perputaran uang akan berimbas pada penghasilan pajak hiburan, yang sejatinya, haruslah diperuntukkan demi kepentingan industri. Salah satunya adalah untuk merestorasi film-film klasik yang menjadi aset budaya.

Saya setuju bila disebut bahwa pemerintah kecolongan dan mundur terkait restorasi Tiga Dara. Bayangkan dengan dibukanya investasi perfilman dengan tidak lagi masuknya bisnis perfilman dalam daftar negatif investasi. Pihak asing yang memiliki dana kuat bisa jadi akan melakukan restorasi film-film klasik penting yang akhirnya akan membuat mereka memiliki hak kekayaan intelektual atas film yang bersangkutan sebagai produk budaya. Kecuali, bila dana untuk merestorasi berbentuk hibah.

Bila itu terjadi, maka mekanisme bisnis kapitalis yang akan berkuasa dan pemerintah tidak akan mengajukan klaim atas aset produk budaya yang diproduksi oleh anak negeri.

Jadi merestorasi film-film klasik hasil karya intelektual anak bangsa bukanlah hanya perkara soal “kecolongan”. Lebih dari itu, ini perihal bagaimana kita menghargai jerih payah karya anak bangsa dan agar generasi berikut bisa mempelajarinya.

Bukan hanya merestorasi film, berbagai informasi penting terkait produksi pun perlu diarsipkan. Di era teknologi digital dan internet, alangkah eloknya bila kita bisa mendapatkan berbagai informasi terkait produksi dalam sekali klik.

Tiga Dara hasil restorasi masih tayang di beberapa bioskop milik grup 21Cineplex.

Baca pula ulasan Ini Kisah Tiga Dara yang terinspirasi dari film ini. 

Leave a comment