Bercermin Dari Sukses Komersil Warkop DKI Reborn : Jangkrik Boss! Part 1 (Bagian Pertama)

 

September 13, 2016

“Nostalgia tampaknya memang menjadi motor penggerak utama keberhasilan Warkop DKI Reborn dalam menarik minat penonton. Kata sifat tersebut dipadukan dengan keberhasilan strategi marketing Falcon Pictures dalam mempromosikan Warkop DKI Reborn, baik lewat above dan below the lines…”




Hari itu—Kamis, 8 September 2016—saya bergegas menuju sebuah bioskop, CBD Ciledug XXI. Jarak yang jauh dan kepadatan lalu lintas khas pinggiran kota perbatasan Jakarta Selatan dan Tangerang itu tak mengurungkan niat saya untuk pergi ke sana. Motivasi saya satu : menonton Warkop DKI Reborn : Jangkrik Boss! Part 1 ( baca ulasannya)di hari pertama perilisannya untuk khalayak.

Saya sendiri gemar berpindah-pindah lokasi bioskop untuk menonton film Indonesia. Salah satu lokasi favorit saya tentu saja Blok M Square XXI yang selama ini selalu digadang sebagai sentra penonton film nasional. Saya senang menonton film lokal di bioskop-bioskop yang menjadi target utama film nasional yang secara statistik mengatakan ceruk pasar film kita adalah masyarakat menengah ke bawah. Harga tiket yang lebih terjangkau di bioskop-bioskop tersebut yang menjadi alasan utama mereka menonton di sana.

Dua dekade terakhir saat bioskop-bioskop independen lenyap dari tata distribusi dan eksibisi film yang lalu malih rupa menjadi satu grup Cineplex milik korporasi dengan modal kuat, memang harus diakui mengubah pola pikir masyarakat kita dalam memandang film sebagai sarana hiburan masal. Penempatan bioskop-bioskop jejaring cineplex di berbagai pusat perbelanjaan pun turut menjadi salah satu faktor bagaimana bioskop yang pada masa lampau ramai didatangi oleh penonton kelas menengah ke bawah, kini dipandang sebagai kebutuhan tersier. Bukan lagi sekunder. Pertimbangannya tentu saja kondisi ekonomi. Bila dahulu menonton ke bioskop hanya “untuk menonton”, kini godaan untuk menguras kantong pun semakin besar. Penempatan bioskop-bioskop di pusat perbelanjaan membuat konsumen semakin tergoda untuk berbelanja, di luar tujuan utama mereka untuk menonton. Terlebih untuk mereka yang sudah berkeluarga dan memiliki anak. Menonton film di bioskop dalam sebuah mall, berarti mereka harus melebihkan anggaran untuk kepentingan turunan lainnya. Semisal : si anak tetiba merengek minta jajan atau dibelikan sesuatu saat mereka melewati satu gerai; kebutuhan untuk plesir berkeliling seharian di mall yang bersangkutan sembari makan di restoran; hingga membayar tiket parkir yang dihitung per jam. Kita asumsikan satu keluarga kecil dengan satu anak. Harga tiket bioskop sebesar IDR 25 ribu. Kalikan tiga, maka pengeluaran untuk menonton saja sudah IDR 75 ribu. Belum lagi uang jajan dan alokasi dana “mendadak” seperti yang saya sebutkan tadi. Sekali jalan pergi ke bioskop,  maka paling sedikit uang IDR 150 ribu harus mereka siapkan. Bayangkan bila satu keluarga kecil dengan ayah sebagai pencari penghidupan utama hanya memiliki penghasilan setara UMR sebesar IDR 3 jutaan, di mana rata-rata anggaran masyarakat Indonesia untuk pengeluaran hiburan sebesar 15 hingga 20% dari total pemasukan. Anggaran untuk menonton di bioskop pun tentunya juga akhirnya amat diperhitungkan.

Hal itu yang diungkapkan oleh Pak Imron (37), yang duduk di tepat di sebelah saya saat menonton Warkop DKI Reborn. Pak Imron yang tinggal cukup dekat dari CBD Ciledug XXI ini mengajak istri dan seorang anaknya, perempuan berumur 10 tahun. Menurut pengakuan beliau, dia dan keluarganya jarang menonton film di bioskop. Alasannya itu tadi, anggaran untuk leisure activity seperti ini sudah dipangkas demi kebutuhan sehari-hari. Warkop DKI Reborn adalah film kedua yang ditontonnya di bioskop tahun ini, selepas Rudy Habibie (baca ulasannya). Saya bertanya mengapa dia memutuskan untuk mengajak keluarganya dan mengeluarkan bujet untuk menonton Warkop DKI Reborn, jawabannya ternyata untuk bernostalgia dengan film-film Warkop yang menjadi bagian hidupnya di masa muda. Saat saya tanyakan lebih lanjut darimana dia mengetahui adanya film ini, jawabannya cukup mengejutkan dan tak saya sangka.

“Saya melihat novel grafis Warkop DKI Reborn dipajang di Gramedia. Sebelumnya, saya tidak mengetahui bahwa film ini bakal tayang. Dari situ saya memutuskan untuk menontonnya nanti di hari pertama. Itung-itung sekalian mengenang masa muda, “ begitu jawab Pak Imron.

Nostalgia tampaknya memang menjadi motor penggerak utama keberhasilan Warkop DKI Reborn dalam menarik minat penonton. Kata sifat tersebut dipadukan dengan keberhasilan strategi marketing Falcon Pictures dalam mempromosikan Warkop DKI Reborn, baik lewat above dan below the lines, hingga berhasil menciptakan rasa penasaran dan urgensi masyarakat untuk berbondong-bondong membeli tiket pertunjukkannya. Menciptakan suatu gerakan cultural event, di mana suatu prinsip bahwa, “Lu nggak gaul kalo nggak menonton film ini.”. Suatu gerakan yang memicu orang-orang untuk tidak ketinggalan topik pembicaraan di lingkaran pergaulan mereka.

Hasilnya memang terlihat jelas. Antrian mengular di depan loket penjualan tiket. Tak hanya satu baris, tetapi hingga empat baris antrian terlihat menyemut di masing-masing konter.

Saya mengobrol dengan salah satu ibu yang ikut dalam antrian di sebelah saya. Ibu ini mengaku mengetahui tentang Warkop DKI Reborn lewat tayangan televisi, khususnya tayangan infotainment. Dia bahkan tahu persis (lewat televisi) bagaimana di berbagai bioskop, tiket film ini sudah ludes tak bersisa. Informasi tersebut lantas membuat dia rela berdesakan untuk membeli tiket. Ibu ini tak hanya membeli tiket untuk dirinya sendiri. Terlihat di pojok lobi bioskop, beberapa ibu-ibu dan sekelompok anak menunggu dia mengantri, demi mendapatkan tempat duduk yang nyaman. Ibu ini membeli tiket untuk pertunjukan keempat, yakni sekitar pukul 19:00. Padahal antrian yang saya ada di dalamnya adalah untuk pertunjukan di jam pertama. Dari beberapa penonton yang saya ajak mengobrol, hanya ada 2 pasang muda-mudi yang membeli tiket untuk film lain, yaitu Don’t Breathe.

Benar saja, tiket pertunjukan di jam pertama di bioskop itu pun sudah nyaris ludes. Saya beruntung, karena masih mendapatkan tempat duduk strategis di jam tayang pertama.

Histeria masa menyongsong Warkop DKI Reborn memang bukan main-main. Keberhasilan strategi marketing yang diorkestrasi dengan baik oleh Falcon Pictures berhasil menarik minat masyarakat lintas demografi. Tak hanya seusia Pak Imron atau ibu tadi—yang saya asumsikan memang terpapar film Warkop di zamannya–, melainkan hingga ke remaja, bahkan kanak-kanak.

Buktinya disampaikan oleh seorang ibu lainnya yang saya ajak mengobrol mengatakan bahwa dia mengantri karena dorongan anak-anaknya yang mendesak dia untuk mengajak mereka menontoni Warkop DKI Reborn. Di lain waktu, saya mengobrol dengan sekelompok remaja pria berseragam sekolah. Dari usianya, mereka tentu saja bukanlah generasi yang mengalami langsung lawakan Dono-Kasino-Indro. Dari hasil obrolan kami didapatkan informasi bahwa mereka mengikuti film-film mereka lewat keping VCD atau streaming di YouTube. Para remaja ini mengetahui informasi tentang Warkop DKI Reborn pun dari media internet dan jejaring sosial. Hal ini mengindikasikan bahwa pemanfaatan metode long-tail marketing di era internet juga berdaya ampuh dalam menjadikan karakter dalam film sebagai sebuah jenama dan membuatnya lestari.

Ramainya antrian untuk menonton Warkop DKI Reborn dan film-film nasional komersil lainnya, jelas mendatangkan kebahagiaan bagi pemilik bioskop dan karyawannya.

Seorang penjaga keamanan pintu masuk teater bioskop tempat saya menonton film itu menceritakan bagaimana gembiranya dia menyaksikan kerumunan penonton yang berjubel. Saat hari pertama dirilis, Warkop DKI Reborn hanya diputar di satu teater dengan kapasitas tempat duduk maksimal berjumlah 310. Di jam pertunjukan yang saya ikuti, semuanya ludes terjual. Bahkan hingga ke baris tempat duduk paling depan, yang umumnya dihindari karena tidak memberikan kenyamanan saat menonton.

“Capek, tapi senang, Dik. Rame kayak gini kan nggak setiap hari. Film-film tertentu saja yang diserbu penonton seperti ini. Lebaran kemarin, bioskop ini bahkan memecahkan rekor penonton terbanyak. Sehari bisa 6.500 penonton. Bahkan ngalahin Blok M. Square yang katanya jadi bioskop film Indonesia paling rame, “ demikian ujar penjaga bioskop yang sempat mengobrol dengan saya.

Antusiasme terhadap film nasional seperti yang dialami oleh Warkop DKI Reborn jelas suatu pengaruh amat positif bagi kelangsungan industri film yang melibatkan ribuan tenaga kerja. Dalam sebuah artikel yang dilansir oleh Tribun Jambi, okupansi penonton di jaringan bioskop Cinemaxx bahkan melonjak hingga 200 persen.

“Ramainya antrian untuk menonton Warkop DKI Reborn dan film-film nasional komersil lainnya, jelas mendatangkan kebahagiaan bagi pemilik bioskop dan karyawannya.”



FILM NASIONAL BERLANDASKAN KEKUATAN JENAMA DAN GENRE SPESIFIK

Bila kita amati, film-film nasional yang berhasil meraup angka penjualan tiket di atas satu juta tahun ini memang berlandaskan atas kekuatan jenama. Kekuatan sebuah brand. Tak melulu berlandaskan sebuah sentimen nostalgia.

Kalendar 2016 dibuka oleh keberhasilan Comic 8 : Kasino Kings Part 2 yang berhasil meraup penjualan tiket sebanyak 1.835.644 lembar (data dari situs filmindonesia.or.id). Film tersebut adalah kelanjutan dari Comic 8 : Kasino Kings Part 1 di tahun 2015 yang berhasil mengoleksi 1.211.820 lembar tiket. Bukan kebetulan bila dua film ini juga diproduksi oleh Falcon Pictures, perusahaan produksi di balik Warkop DKI Reborn.

Falcon juga berjaya lewat satu film lainnya yang mereka rilis tahun ini, My Stupid Boss arahan Upi, serta dibintangi oleh Reza Rahadian dan Bunga Citra Lestari. Film tersebut sukses meraup 3.052.657 lembar tiket hingga akhir theatrical run-nya. Bila digabungkan, Falcon Pictures lewat film-filmnya (bersama Warkop DKI Reborn yang telah berhasil terjual lebih dari satu juta lembar tiket hanya dalam kurun waktu kurang dari lima hari sejak dirilis per 12 September 2016) berhasil menjadi pemegang market share film nasional terbesar sepanjang 2016. Tidak berlebihan bila pandangan tersebut muncul, karena Warkop DKI Reborn masih amat berpeluang terus menambah pemasukan tiket.

Bila diperhatikan lebih jauh, film-film Falcon tersebut ber-genre komedi. Dalam sebuah survei yang dirilis oleh departemen Litbang Kompas di tahun 2014 menyebutkan bahwa sebanyak 33,4 persen dari 687 responden menyebut bahwa komedi adalah genre film favorit mereka. Selebihnya sebanyak 28,4 persen dan 18,4 persen secara berturut-turut lebih memilih genre percintaan (romance) dan aksi (action). Menilik dari hasil survei tersebut, kesuksesan komersil film-film yang diproduksi Falcon Picture tahun ini dapatlah dimengerti.

Film bergenre komedi memang mendominasi daftar sepuluh besar film nasional terlaris sampai bulan kesembilan di kalendar 2016 berdasarkan data di filmindonesia.or.id. Ada lima film komedi, yaitu : My Stupid Boss (peringkat kedua), Koala Kumal (peringkat keempat, 1.863.541 tiket), Comic 8 Kasing Kings Part 2 (peringkat kelima), Talak 3 (peringkat kesembilan, 567.917 tiket) dan Modus (peringkat kesepuluh, 382.342 tiket).

Jumlah masuknya film ber-genre komedi di daftar sepuluh besar film nasional terlaris di tahun ini mengalami peningkatan. Di tahun 2015 terdapat empat film komedi dan satu tahun sebelumnya hanya ada tiga (dengan Comic 8 memuncaki).

Film ber-genre drama percintaan pun tahun ini diwakili oleh tiga film : Ada Apa Dengan Cinta 2 (baca ulasannya)(peringkat pertama, 3.665.509 tiket), ILY from 38.000 ft (peringkat keenam, 1.574.576 tiket) dan London Love Story (peringkat ketujuh, 1.124.876 tiket). Unsur kisah percintaan sebenarnya juga terdapat di berbagai film komedi tanah air, meski memang tidak dominan seperti film-film yang secara lugas menempatkannya dalam porsi terbesar penceritaan.

Bila ditelaah secara genre dan merujuk pada hasil survei litbang Kompas tadi ; komedi, percintaan dan aksi memang merupakan tiga jenis film yang selaras dengan tujuan utama film sebagai produk budaya masal sebagai sarana eskapisme. Bersama horor, ketiga genre tersebut sudah memberi penonton bayangan jelas akan apa yang mereka dapatkan saat membeli tiketnya. Dengan kata lain, ketiga genre itu sudah membentuk jenama mereka sendiri. Dalam sebuah film komedi, penonton tentu mengharapkan dapat melepas tawa sehabis beraktivitas sehari-hari. Lewat cerita romansa, penonton berharap dapat terbuai dengan kisah mengharu biru yang akan membawa mereka kepada sebuah ilusi yang indah-indah. Melalui film aksi, penonton dapat menyalurkan amarah dan ekspresi anarkis mereka lewat adegan-adegan bak-bik-buk dan destruktif yang umumnya didapat lewat genre ini. Di film horor, ketakutan dan paranoia menjadi komoditas utama.

“Salah satu faktor yang menyebabkannya adalah karena film horor nasional sudah terlanjur identik dengan “film murahan”….Meski memang nilai intelektual sebuah karya seni (termasuk film) sedikit hubungannya dengan intelektualitas orang yang menikmatinya.”



HOROR TAK LAGI JADI PRIMADONA, MARKETING “MISTERI”

Menarik bila ditelisik bahwa film nasional bergenre horor tak satu pun menempati daftar film terlaris sejak tahun 2013. Terakhir film horor produksi nasional yang berhasil melakukannya adalah 308, arahan Jose Purnomo (produksi Soraya Intercine Films), dan film Taman Lawang arahan Aditya Gumay. Kedua film tersebut di tahun 2013 berturut-turut menduduki peringkat kesembilan dan keenam dalam sepuluh besar film terlaris di tahun itu dengan membukukan penjualan tiket, masing-masing, sebesar 358.507 dan 526.761 lembar tiket.

Taman Lawang pun tak murni horor. Film itu menyelipkan elemen komedi yang kental di dalamnya. Nama almarhum Olga Syahputra yang identik dengan lawakan dan memiliki basis penggemar kuat merupakan faktor utama tingginya angka penjualan, bila dibandingkan dengan ongkos produksi. Penonton tahu apa yang diharapkan dari jenama Olga Syahputra yang sudah dibangunnya bertahun-tahun.

Menarik memang bila dianalisis lebih lanjut mengapa film horor nasional tak lagi menduduki peringkat sepuluh besar film terlaris, digantikan oleh komedi. Salah satu faktor yang menyebabkannya adalah karena film horor nasional sudah terlanjur identik dengan “film murahan”. Hanya mengandalkan kisah horor supranatural dan elemen jump-scares yang seringkali malah sosok mistis yang menjadi karakter antagonis kelewat dieksploitasi, tanpa memperdulikan kekuatan penceritaan, elemen teknis dan production value. Film horor memang relatif lebih murah dalam ongkos produksi karena genre ini sudah kuat sebagai sebuah jenama dan memiliki segmen penonton sendiri, maka keuntungan pun diperoleh berlipat-lipat. Kemalasan dan jiwa pedagang kelontong para produser pun lantas membuat minat penonton terhadap film horor nasional mencapai titik nadir. Tak lagi mengindahkan kekuatan naskah, pengadeganan dan tata produksi. Fakta menunjukkan, tak lagi ada film horor selepas tahun 2013 yang masuk dalam daftar film terlaris. Mengindikasikan bahwa penonton sudah malas dan jenuh, serta tidak percaya dengan film horor nasional sebagai sebuah jenama.

Bergantilah minat para penonton film Indonesia ke film-film komedi.

Padahal rasa takut yang menjadi komoditas utama film horor itu bersifat universal. Beda dengan komedi yang bersifat subjektif. Orang-orang memiliki definisi yang sama terhadap rasa takut, yaitu dalam menghadapi sesuatu yang tidak mereka kenal atau memiliki wujud fisik menyeramkan. Komedi, di sisi lain, memiliki kaitan dengan budaya, intelektual dan cita rasa. Meski memang nilai intelektual sebuah karya seni (termasuk film) sedikit hubungannya dengan intelektualitas orang yang menikmatinya. Tapi latar belakang intelektualitas seseorang akan berpengaruh pada cara pandangnya terhadap sebuah materi komedi. Itu sebabnya, kebanyakan film-film komedi amat jarang dalam mencapai suatu konsensus kesepakatan yang universal. Kebanyakan film komedi memecah belah penonton : antara suka dan tidak.

Namun, yang hilang dari film horor nasional adalah unsur misteri. Suatu elemen yang semestinya diperhatikan dalam penyampaian cerita atau strategi marketing. Ironisnya, unsur misteri ini yang menjadi salah satu faktor yang membuat Warkop DKI Reborn menarik minat penonton.

Kita bisa tengok ke belakang saat pertama kali isu bahwa film tentang Warkop DKI akan diproduksi. Lewat internet berseliweran foto (yang lebih menyerupai sebuah konsep teaser poster) tampak punggung tiga orang dalam busana montir warna-warni yang di punggung mereka masing-masing bertuliskan “ Dono. Kasino. Indro” di sekitar bulan April atau Mei 2016. Bagi yang akrab dengan film-film Warkop, kostum montir warna-warni itu mengingatkan pada kostum serupa yang mereka gunakan di film IQ Jongkok (1981) di mana trio komedian itu berburu harta karun.

Tentu saja pelepasan teaser poster itu adalah bagian dari orkestrasi rencana marketing dan sebagai sebuah materi promosi awal yang memang ditujukan untuk “menggoda”, serta mengukur respon penonton. Rencana itu berhasil dan brilian. Dibantu oleh media buying yang dilakukan Falcon Pictures untuk memberitakan berbagai artikel terkait, strategi marketing itu berjalan mulus. Terlepas sentimen negatif atau positif yang dilepaskan ,orang-orang mulai bereaksi dan membicarakannya. Mereka lantas mencari tahu dan mengikuti segala pemberitaan terkait produksi film ini, terutama terkait siapa yang akan memerankan Dono-Kasino-Indro dan Falcon Pictures tinggal menjaga ritme dan tempo pemberitaan.

Sentimen negatif dan sikap skeptis memang mengiringi berbagai pemberitaan terkait Warkop DKI Reborn. Khususnya mengenai sutradara dan tentang keputusan “menghidupkan kembali” trio komedian ini ke layar lebar. Memang bukan hal yang mengagetkan bila sikap skeptis terhadap Anggy Umbara sebagai sutradara tercipta. Opini para penikmat film terhadap karya-karya feature-nya memang terpecah, di mana hal itu bisa terlihat lewat reaksi terhadap seri Comic 8 dan 3 Alif Lam Mim.

Reaksi negatif dan sikap skeptis terhadap Warkop DKI Reborn juga muncul dari penggemar berat trio komedian ini. Mayoritas mereka beranggapan bahwa sosok ketiganya tak tergantikan. Bagi mereka, Dono-Kasino-Indro ya Dono-Kasino-Indro. Suatu keputusan yang absolut dari para penggemar. Reaksi ini makin keras saat format penceritaan dan aktor-aktor yang memainkan ketiga tokoh tersebut sudah diumumkan. Beberapa rekan saya yang merupakan penggemar berat Warkop, bahkan sudah membulatkan tidak akan menonton film ini.

“Bagi saya Warkop ya Warkop. Seberapa hebat make-up dan efek untuk “melahirkan” mereka kembali di film, saya tidak akan menonton,” begitu ujar salah satu rekan yang menolak disebutkan namanya.

Reaksi para penggemar Warkop garis keras itu bisa dimaklumi. Grup lawak tersebut memang sudah menjadi bagian dari perjalanan hidup mereka. Ada ikatan emosional yang sudah kuat terjalin antara Warkop dan para penggemar jenis ini. Hubungan mereka tak lagi antara sebuah jenama dengan konsumennya. Lebih dari itu karena sudah melibatkan rasa percaya.

Menumbuhkan rasa percaya di kalangan penggemar setia Warkop DKI memang menjadi tugas terberat Falcon Pictures. Dari segi usia, para penggemar tersebut sudah berusia matang, bahkan banyak di antara mereka yang sudah memiliki profesi dan status berpengaruh di masyarakat. Oleh sebab itu, maka  istilah komunikasi untuk memperhalus “penyajian kembali “ Warkop DKI ke layar lebar adalah sebagai upaya tribute. Sebuah penghormatan.

“Peremajaan jenama (brand rejuvenation) dan pelanjutannya (brand continuation) sebenarnya juga dilakukan oleh Ada Apa Dengan Cinta 2 produksi Miles Film. “



PEREMAJAAN JENAMA (BRAND REJUVENATION)

Padahal sebenarnya yang dilakukan oleh Falcon Pictures terhadap Warkop DKI adalah bentuk peremajaan jenama (brand rejuvenation), yaitu suatu proses memperbaharui tampilan dan rasa dari suatu merek, tanpa mengotak-atik pondasi utamanya. Peremajaan jenama ini kemudian berujung pada upaya melanjutkannya (brand continuation) ke target konsumen generasi baru. Hal yang wajar dalam bisnis apa pun, termasuk film. Terlebih Warkop DKI sebagai sebuah merek dagang, sudah lebih dari satu dekade “tertidur”.

Peremajaan jenama (brand rejuvenation) dan pelanjutannya (brand continuation) sebenarnya juga dilakukan oleh Ada Apa Dengan Cinta 2 produksi Miles Film. Warkop dan AADC sebagai punya kesamaan, yaitu : punya basis penggemar kuat, sama-sama menjadi bagian kultur populer dan sudah “tertidur” selama satu dekade lebih. Ketiga unsur tersebut pula yang berhasil membuat kedua filmnya menciptakan sentimentil nostalgia dan berimbas pada penjualan tiket yang tinggi.

Tapi ada hal penting yang membedakan keduanya, yaitu bagaimana para pemeran yang menghidupkan jenama kedua film itu melakukan personifikasi terhadap karakter mereka di film.

Memang karakter Cinta dan Rangga sudah terlampaui identik dengan Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra. Kelekatan imej kedua karakter fiktif dengan kedua aktor itu pulalah yang membuat upaya pengembangan kisah AADC ke bentuk sinetron mengalami kegagalan. Hanya saja, setidaknya, Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra mencoba berbagai peran lain selepas AADC pertama hingga kedua. Bentang waktu lebih dari satu dekade, sudah cukup bagi para penonton untuk menyadari bahwa karakter Cinta bukanlah diri sebenarnya Dian Sastro. Pun karakter Rangga bukanlah Nicholas Saputra yang sesungguhnya.

Karakter Dono-Kasino-Indro justru kebalikannya.

Mereka sudah identik dengan tiga anggota Warkop selama berpuluh-puluh tahun, menciptakan personifikasi abadi dan saklek atas orang-orang yang memainkannya. Para penggemar sudah kadung tak bisa memisahkan antara Drs. H. Wahyu Sardono yang seorang dosen dan akademisi dengan Dono di Warkop; tak bisa membedakan antara Drs. Kasino Hadiwibowo dengan karakter Kasino Warkop; serta tak dapat mengenali mana Drs. H. Indrodjojo Kusumonegoro dengan Indro Warkop yang kerap berlogak Batak dalam perannya.

Para penggemar kadung melihat trio Warkop dan karakter panggung mereka sebagai satu kesatuan sehari-hari. Mereka tak bisa membedakan antara mana yang “permainan karakter di film” dan “mana yang asli”. Karena mereka memang memainkan lakon yang sama selama berpuluh tahun, tanpa mencoba variasi lain, dan itulah yang dilihat masyarakat. Hal yang sama juga terjadi di banyak komedian dari grup, seperti Tessy atau Gogon Srimulat.

“Karena itulah kunci keberhasilan suatu produk seni seperti film terletak pada pondasi fundamental yang melibatkan rasa percaya (trust).”



PRODUK KESENIAN SEPERTI FILM BERLANDASKAN RASA PERCAYA (TRUST)

Maka tak mengherankan bila kemudian ada barisan penggemar fanatik Warkop yang kemudian menolak ide peremajaan jenama ini. Bagi mereka, bila ada upaya untuk memfilmkan Warkop yang paling layak adalah format film biografi. Padahal Warkop bukanlah soal almarhum Wahyu Sardono, almarhum Kasino Hadiwibowo dan Indrodjojo Kusumonegoro. Warkop sebagai jenama adalah tentang karakter panggung mereka dan bentuk lawakan yang mereka ciptakan. Itulah yang membuat upaya Falcon Pictures untuk “menghidupkan” mereka kembali, secara bisnis, amatlah masuk akal.

Upaya mengembangkan sebuah film menjadi satu jenama memang lebih kompleks dan tak sesederhana menciptakan suatu merek dagang di produk lain, seperti makanan atau elektronik. Dalam film dan produk kesenian lainnya, dilibatkan sebuah penceritaan (storytelling) yang melibatkan sisi kejiwaan dan emosional. Karena itulah kunci keberhasilan suatu produk seni seperti film terletak pada pondasi fundamental yang melibatkan rasa percaya (trust). Ketika kita membaca sebuah buku, mendengarkan album musik, atau duduk di ruangan gelap saat menonton sebuah film di bioskop, kita harus mempersiapkan diri untuk menyerahkan jiwa, emosi dan pemikiran demi masuk ke dunia yang dibangun oleh para insan kreatif yang menciptakannya. Menyerahkan diri kita kepada lantunan irama musik dan rangkaian cerita yang datang dari otak dan pemikiran orang lain yang tidak kita kenal secara personal. Saat kita menonton sebuah film, kita dalam sebuah situasi di mana kita akan memasrahkan dan bersiap untuk masuk ke sebuah ilusi berbentuk realita di layar, yang kita relatif tidak punya kuasa terhadap hasil akhirnya. Atau, setidaknya dalam konteks film yang sudah menjadi jenama seperti milik Warkop, kita mencoba memahami interpretasi orang lain atas sebuah bentuk sajian naratif yang kita sudah akrab.

Sebagai sebuah produk, film juga memiliki keterbatasan dalam hal bentang waktu (window of exhibition). Terlebih di era digital di mana proses produksi menjadi relatif lebih cepat yang membuat lahirnya film-film baru dalam satu pekan di bioskop menjadi lebih banyak. Saat ini sebuah film rata-rata hanya bertahan di bioskop dalam kurun waktu selama dua hingga tiga pekan. Unsur kepercayaan yang kemudian membuat penonton akhirnya memutuskan untuk membeli tiket sebuah film. Mereka akan menyaksikan kisah yang mereka kenal dan merasa tertarik terhadapnya. Untuk itulah suatu upaya promosi dan marketing yang efektif, serta seringkali masif, ke semua lini dan target market menjadi amat penting. Masalah yang kemudian timbul adalah mahalnya biaya promosi dan marketing tadi. Seorang produser tentunya memiliki perhitungan tersendiri dalam menilai potensi komersil sebuah film yang diproduksinya. Oleh karena itu, maka tak mengherankan, bila produser yang ingin agar filmnya mencapai nilai balik investasi (return of investment) cenderung lebih suka memproduksi film-film yang sudah memiliki basis penggemar kuat atau sudah menjadi sebuah jenama.

Itulah sebabnya praktik yang disebut remake, reboot, sekuel, adaptasi buku atau materi yang sudah dirilis sebelumnya menjadi suatu keniscayaan. Hal Itu karena, paling tidak, tim marketing  lebih menghemat tenaga dan biaya dalam upaya mereka memperkenalkan sebuah film. Tinggal bagaimana mereka memilih materi awal yang tepat dalam memulai sebuah kampanye promosi untuk menciptakan rasa penasaran. Seperti yang terjadi dalam Warkop DKI Reborn atau AADC 2.

 

*Art-icle(s) ini akan berlanjut ke bagian kedua yang akan membahas lebih lanjut mengenai apa yang membuat film-film seperti Warkop DKI Reborn bisa meraih pencapaian komersil, beberapa contoh nostalgia yang gagal,  apa pengaruhnya terhadap industri secara keseluruhan dan pentingnya resensi (kritik film) terhadap keseimbangan di industrinya.

(by @Picture_Play)

 

 

 

 

Leave a comment