The Secret Life of Pets Review : Tanpa Rahasia, Tanpa Imajinasi

“Inovasi, imajinasi dan (sedikit) hati itulah hal yang alpa dalam The Secret Life of Pets.”




Ironi terbesar dari  The Secret Life of Pets adalah bahwa film ini tidak memiliki rahasia seperti yang disandang judulnya.

Mayoritas kejadian dan adegan dalam film ini terasa akrab di memori. Menghadirkan sederetan déjà vu yang akhirnya tidak menghadirkan dua elemen penting dalam sebuah narasi–apapun format narasinya—yaitu : (a) sebuah pengungkapan hal baru (revelation ) dan (b) berujung pada tidak adanya kejutan (surprise). Bila dua elemen tersebut tidak ada, maka yang akan diperoleh adalah datarnya penceritaan. Efek terbesarnya adalah hinggapnya rasa bosan.

Salah satu penyebabnya adalah karena film animasi produksi bersama antara Ilumination dan Universal Pictures  ini lebih merupakan gabungan berbagai plot points yang pernah ditampilkan di berbagai film animasi feature lain, mulai dari Toy Story, Flushed Away hingga ke Shaun the Sheep.  Bahkan terdapat pula plot points dari film Garfield hingga ke Cats & Dogs.

Begitu berjubelnya penjumputan pelbagai plot points dari film-film tersebut, membuat saya pada satu titik berpikir bahwa film ini akan lebih bekerja bila dikemas sebagai parodi. Setidaknya akan lebih tegas dalam mengambil posisi untuk bersenang-senang atas berbagai referensi produk populer.

Bukan berarti bahwa sebuah film mestilah menawarkan cerita ataupun konsep orisinal. Di era di mana film-film begitu mudah diproduksi dengan teknologi digital dan bentang tayang (windows of exhibition) menjadi jauh lebih sempit, orisinalitas adalah sebuah barang teramat mahal. Toh, film sendiri sejatinya merupakan sebuah medium referensi, di mana satu karya akan dipengaruhi oleh berbagai karya yang telah hadir sebelumnya.

Orisinalitas terlebih lagi merupakan sebuah konsep yang abstrak bagi film yang jelas diperuntukkan sebagai pengembangan jenama dan etalase produk mainan terbaru seperti The Secret Life of Pets. Tetapi sebagai sebuah produk yang mengutamakan narasi, film tetaplah harus memiliki inovasi dalam menuturkan kisahnya. Dalam konteks bercerita di film animasi, inovasi akan makin terasa nikmat bila digabungkan dengan imajinasi dan (sedikit) hati.

Inovasi, imajinasi dan (sedikit) hati itulah hal yang alpa dalam The Secret Life of Pets.

Film ini diarahkan secara bersama oleh Chris Renaud (salah satu sutradara dan kreator Despicable Me, Minions) dan Yarrow Cheney. Nama Renaud dan Illuminations yang bertanggung jawab atas suksesnya animasi beromset ratusan juta dollar tersebut menjadikan Secret mengemban tanggung jawab yang sama : menghasilkan pundi-pundi dollar.

Hal tersebut terlihat jelas dari desain produksi animasi ini. Karakter-karakter binatangnya dibuat lucu dan menggemaskan. Mereka dan kota New York yang menjadi latar belakang cerita ditampilkan dalam palette warna-warni cerah bak gula-gula. Langitnya ditampilkan dalam biru mentereng, dedaunan di musim gugur ditampilkan dalam warna coklat terang. Amat menyenangkan dan memanjakan mata, serta membuat hati terasa hangat. Seperti gabungan antara desain produksi The Lorax, Cloudy with A Chance of Meatballs, dan Despicable Me. Penonton kanak-kanak akan tertarik dengan ragam karakter dan warnanya, penonton dewasa akan tertarik membeli mainannya. Bila visual menjadi alat dagang utama, maka kekuatan cerita umumnya akan dinomor sekiankan. Saya menonton film ini dalam format dua dimensi. Saya rasa Anda patut mencoba menyaksikannya dalam format 3 dimensi.

Film ini jelas berhasil mencapai tujuan utama berniaganya. Saat dirilis, The Secret Life of Pets berhasil meraih untung di pasaran domestik dan sejauh ini berhasil meraup hingga lebih dari 600 juta dollar, bila digabung dengan pendapatan pasar internasionalnya. Belum merchandising yang mewabah di mana-mana, bahkan hingga ada versi bajakannya.

Tapi, sukses komersial dan artistik adalah dua koridor yang berbeda. Dan di sini, kita membahas pencapaian artistik, bukan komersialnya.

Naskah The Secret Life of Pets ditulis secara keroyokan oleh tiga orang (Bryan Lynch, Cinco Paul dan Ken Daurio) ini adalah fabel klise dua ekor anjing peliharaan yang tersesat dan hilang di tengah rimba kota New York. Max (disuarakan oleh komedian Louis C.K), seekor anjing berjenis terrier yang memiliki hidung besar berwarna coklat, adalah hewan peliharaan yang paling bahagia di dunia–setidaknya itulah pengakuan Max.  Ia tinggal bersama pemiliknya, seorang perempuan bernama Katie di sebuah apartemen menyenangkan di kota Manhattan. Max menyayangi Katie, Katie pun menyayangi Max.

Satu-satunya momen tak menyenangkan bagi Max adalah saat Katie harus meninggalkannya untuk bekerja. Tapi rupanya, Max adalah satu-satunya hewan peliharaan yang bersedih saat ditinggal majikannya. Karena teman-teman Max, sesama hewan peliharaan, justru riang gembira saat majikan mereka tak lagi di rumah.

Kita lalu dibawa berkenalan dengan para “tetangga”, sekaligus teman se-geng Max lewat montase. Ada Chloe (disuarakan oleh Lake Bell), kucing betina gembul berwarna biru keunguan yang kerjaanya makan saja; Norman (disuarakan oleh sang sutradara, Renaud), seekor guinea pig yang punya masalah dengan pemetaan lokasi; Buddy (Hannibal Buress), seekor anjing daschund yang memiliki badan panjang; dan Sweetpea, seekor burung parkit berwarna dominan kuning cerah.

Di antara tetangga Max, ada seekor anjing Poomeranian berbulu putih layaknya gulali yang cantik bernama Gidget (Jenny Slate). Gidget yang bersuara serak-serak basah ini memiliki hobi menonton telenovela di saat majikannya pergi dan memendam asmara terhadap Max.

Para hewan peliharaan ini berpesta pora, memanjakan diri, mendengarkan musik cadas, makan seenaknya dan bergosip ria saat ditinggal para majikan. Hilang sudah sifat mereka yang penurut, berganti dengan sikap semau gue dan mereka jadi diri sendiri.

Plot point ini mengingatkan kepada Toy Story, Flushed Away, hingga ke Gnome & Juliet. Sekali lagi, sebenarnya bukan merupakan masalah bila The Secret Life of Pets menggali lebih dalam karakter-karakter hewannya. Sayangnya, mereka kemudian lebih didefinisikan oleh bentuk fisik yang sengaja dilebih-lebihkan untuk menciptakan lelucon visual. Karakter-karakter mereka cenderung sama dan berbicara dalam dialog yang sama. Tanpa terasa berbeda, karena tak ada inovasi dan imajinasi. Ditambah dengan eksekusi adegan tanpa penambahan detail baru apapun. Plot point ini terasa sebagai pengulangan yang hampa.

Kebahagiaan Max lalu mulai terusik saat majikannya membawa pulang seekor anjing mongrel bertubuh besar dan berbulu coklat keriwil bernama Duke (Eric Stonestreet), untuk tinggal bersama mereka.

Awalnya Max dan Duke tidak akur, sampai kemudian mereka terpisah dari kawanan mereka saat sedang berjalan-jalan di sebuah taman. Max dan Duke yang terbiasa hidup enak, akhirnya harus terlunta-lunta di jalan dan kemudian ditangkap oleh petugas penangkar hewan liar. Untungnya mereka kemudian berhasil melarikan diri, lagi-lagi mengingatkan kepada hal serupa yang sudah dipakai di White God, Shaun the Sheep, hingga ke Finding Dory.

Segala kejadian tak terduga yang dialami Max dan Duke di jalanan, membuat keduanya bertemu dengan kelinci anarkis bermulut kasar , Snowball (disuarakan oleh Kevin Hart), yang tinggal di gorong-gorong kota New York dan memimpin sekelompok besar hewan yang memberontak terhadap kekuasaan manusia. Di sisi lain, geng yang dipimpin oleh Gidget mulai menyadari hilangnya Max dan memutuskan untuk mencarinya dengan bantuan elang ekor-merah bernama Tiberius (disuarakan oleh Albert Brooks).



Ketiadaan inovasi dan imajinasi membuat berbagai plot points  dalam The Secret Life of Pets menjadi tumpang-tindih centang-perenang. Tanpa ada yang tuntas. Ada momen di mana Duke menemukan kediaman majikan lamanya, yang kemudian lenyap begitu saja. Begitu pun saat berada di gorong-gorong dan bertemu dengan kelompok “anarkis bawah tanah” pimpinan Snowball, bagian ini pun kemudian hanya numpang lewat.

Begitu berseliwerannya berbagai plot points tersebut menjadikan film ini susah untuk mengikat emosi. Belum kelar satu urusan, sudah muncul persoalan lain. Menjadikannya tempo dan ritmenya cepat, namun berlalu begitu saja, tanpa ada satu momen yang benar-benar melekat di hati.

Permasalahan lain film ini juga terletak pada kegamangannya dalam memilih : apakah untuk konsumsi kanak-kanak ataukah untuk orang dewasa.  Karena bila untuk anak-anak, penceritaan film ini terlampau hiruk pikuk dan dialognya terkadang terlampau kasar, bising, serta vulgar. Contohnya dialog yang terlontar dari Snowball, “Long live the revolution, sucker!”. Atau dialog tentang pembunuhan manusia. Apakah dialog semacam ini pantas untuk konsumsi anak-anak?

Dalam film seperti Shaun The Sheep pun sebenarnya terselip humor dewasa, seperti humor buang angin. Tetapi, penempatannya masih tidak berlebihan dan atmosfer yang diciptakan sedari awal adalah kepolosan, serta kesederhanaan anak-anak. Tidak seperti Secret yang kebingungan menentukan pilihan.

Komedi dalam film ini pun mengulang banyak hal yang sudah terdapat di film-film sebelumnya. Tanpa inovasi atau imajinasi apalagi pembaruan, yang membuatnya hanya sekadar diletakkan dan direkatkan di dalam frame. Humornya mungkin akan membuat Anda tertawa, tapi selepasnya Anda akan melupakannya.

Bertumpuknya adegan dan karakter terlupakan, lantas membuat karakter Snowball dan Gidget mencolok. Bedanya, Snowball mencolok karena terlampau hiperaktif dan membuat karakternya terasa mengganggu, serta berlebihan; Gidget menarik perhatian karena karakternya yang simpatik dan suara serak-serak basah milik Jenny Slate yang menggelitik.

Adegan saat Gidget menonton telenovela yang kemudian menginspirasinya untuk menolong Max berhasil membuat saya terpingkal-pingkal. Karena adegan tersebut dieksekusi secara pas dan penempatannya membuat saya bisa mencerna terlebih dahulu humor yang disajikan.

Karakter Tiberius si elang pun menarik perhatian. Selain desain karakternya yang tegas dan berbeda, Albert Brooks sebagai pengisi suara pun mampu menaruh ruhnya. Saya tak mengenali suaranya yang sudah kadung populer sebagai karakter Marlin di Finding Nemo, bila tidak memeriksa credit title. Di Secret, Brooks berhasil menciptakan karakter baru lewat suaranya. Suatu hal yang gagal dilakukan pengisi suara lain di film ini.

Tak lama selepas saya menonton The Secret Life of Pets, saya mencoba mengingat-ingat rangkaian cerita filmnya. Yang saya ingat adalah momen yang saya ceritakan di paragraf atas. Ditambah berbagai Easter-eggs, mulai dari The Birds-nya Alfred Hitchcock hingga ke lagu Happy milik Pharrell Williams. Selebihnya saya lupa dan itu berarti memang film ini tidak berhasil membuat saya terpikat.

Lalu saya bertanya di manakah letak rahasia di film ini? Sebuah rahasia akan membuat kita mengingat momen saat kita berhasil menemukan, mengungkapkan dan memecahkannya. Tapi The Secret Life of Pets begitu gampang dilupakan, karena memang tak ada rahasia di dalamnya. Semuanya gamblang, jelas, sudah pernah tersaji dan kita temui sebelumnya.

(2/5)

Now playing

Reviewed at Blok M Square in 2D format

(Animated) A Universal release and presentation of a Chris Meledandri production, presented in association with Dentsu Inc., Fuji Television Network, Inc

Producer : Meledandri, Janet Healy.

Director : Chris Renaud, co-director : Yarrow Cheney

Screenplay : Bryan Lynch, Cinco Paul, Ken Daurio

Editor : Ken Schretzmann

Music : Alexandre Desplat

Production designer/character designer : Eric Guillon

Art director : Colin Stimpson

Computer graphics supervisor : Bruno Chauffard

Animation directors : Jonathan Del Val, Julien Soret

Voice actors : Louis C.K., Eric Stonestreet, Kevin Hart, Jenny Slate, Ellie Kemper, Albert Brooks, Lake Bell, Dana Carvey, Hannibal Buress, Bobby Moynihan, Chris Reynaud, Steve Coogan, Michael Beattie, Sandra Echeverría, Jaime Camil, Kiely Renaud.

Leave a comment