Review Spotlight : A Great Paean To Powerful Journalism That Breaking Omerta

written by @Picture_Play 

Ditonton di @America, Pacific Place, 9 Februari 2016

“Spotlight adalah contoh sebuah film yang dipahat dan dirajut secara seksama, serta lebih mengutamakan fungsi dan efektifitas dalam bertutur. Mengesampingkan estetika sinematis, demi menyampaikan isu penting dengan tingkat urgensi tinggi. Salah satu film terbaik yang pernah dibuat oleh Hollywood. Salah satu contoh langka sebuah film yang berhasil menjaga keseimbangan antara first, second, dan third act.”




Sebuah pesawat telepon berwarna hitam terlihat di layar. Lewat pesawat telepon itu, terdengar jelas suara seorang pria yang sedang menjelaskan hasil analisisnya terhadap “krisis” yang dialami oleh Keuskupan Agung Boston selama bertahun-tahun.

Bukan sembarang krisis, karena melibatkan beberapa pastur yang diduga telah melakukan pelecehan seksual terhadap sejumlah anak di Boston. “Krisis” itu yang kemudian membawa tim jurnalis Spotlight— artikel panjang investigasi yang menjadi bagian dari koran Boston Globe—  ke pembicaraan melalui sambungan telepon dengan sumber ahli ini.

Secara perlahan dan telaten kamera digerakkan dengan teknik zoom-out, menjauhi pesawat telepon dan memperlihatkan kepada penonton, dengan siapa saja sang narasumber ahli tersebut berbicara.

Penonton pun pelan-pelan melihat empat sosok jurnalis yang menjadi anggota tim Spotlight. Mereka adalah Walter “Robby” Robinson (diperankan dengan sangat baik oleh aktor nomine Oscar Michael Keaton), seorang jurnalis senior editor Spotlight yang bergaya flamboyan dan memiliki kemampuan negosiasi; Michael “Mike” Rezendes ( diperankan oleh Mark Ruffalo), jurnalis passionate yang agresif dalam memburu informasi layaknya harimau ketika menunggu mangsa ; Sascha Pfeiffer (diperankan oleh Rachel McAdams), jurnalis perempuan yang memiliki kehangatan personalitas dan mampu membuat narasumbernya terbuka; dan Matt Caroll (diperankan oleh aktor teater Brian d’Arcy James), seorang family man yang memiliki penampilan rapi dan perilaku layaknya gentleman. Mereka berempat duduk mengelilingi pesawat telepon, sembari berbicara dengan sang narasumber ahli, melalui pengeras suara.

Seiring kamera meninggalkan pesawat telepon, semakin luas pula penonton diperlihatkan ruang kantor Spotlight , di mana percakapan telepon itu terjadi. Juga semakin luas pula cakupan dan perspektif yang ditemukan para jurnalis Spotlight melalui percakapan tersebut.

Awalnya–melalui riset panjang–keempat jurnalis Spotlight itu menemukan ada 13 pastur yang diduga melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak jemaat mereka. Ketika dilakukan konfirmasi ke sang narasumber ahli, didapatlah fakta bahwa jumlahnya jauh lebih banyak.

Keempat jurnalis tersebut terhenyak, kaget, dan tersentak dengan pamaparan fakta tersebut.

Lalu, kamera pun berhenti bergerak.



Dinamika Akting Sebagai Entitas, Definisi Sebenarnya Film Ansambel

Cuplikan dari salah satu adegan emosional di Spotlight di atas secara tepat mewakili seperti apa film arahan Tom McCarthy ini. Bahwa konflik yang terjadi berawal dari perspektif sempit para jurnalis dalam memandang kasus pastur pedofil. Lalu secara perlahan seiring mereka melakukan investigasi, cakrawala berpikir dan perspektif mereka terbuka, melihat kasus tersebut sebagai sebuah jejaring yang saling terkait.

Sebagaimana pula cuplikan di atas, Spotlight berjalan pelan dan sabar. Namun kemudian berhasil masuk ke pemikiran dan sanubari penonton, serta menggugah kegelisahan, bahkan setelah usai menontonnya.

Spotlight adalah contoh sebuah film yang dipahat dan dirajut secara seksama, serta lebih mengutamakan fungsi dan efektifitas dalam bertutur. Mengesampingkan estetika sinematis, demi menyampaikan isu penting dengan tingkat urgensi tinggi. Salah satu film terbaik yang pernah dibuat oleh Hollywood, salah satu contoh langka sebuah film yang berhasil menjaga keseimbangan antara first, second, dan third act.

Merupakan drama biografi dan diangkat dari kisah nyata yang terjadi di tahun 2001 hingga awal 2002, saat sebuah tim jurnalis investigasi bernama Spotlight yang menjadi bagian dari koran The Boston Globe, memulai reportase tentang skandal pelecehan seksual anak yang melibatkan hampir 90 pastur gereja Katolik Roma di wilayah Boston.

Hasil investigasi panjang yang kemudian diterbitkan oleh koran The Boston Globe dengan judul, “ Church Allowed Abuse by Priest for Years” itu, begitu kuat mempengaruhi segala aspek kehidupan di Boston, di mana Katolik Roma menjadi agama mayoritas. Artikel tersebut memicu keberanian para korban pelecehan seksual yang selama ini takut dan memilih bungkam untuk bicara. Membuat Kardinal Law, sebagai pemimpin tertinggi di Keuskupan Agung Boston, mundur. Bahkan, memicu terkuaknya skandal serupa di kawasan lain Amerika Serikat dan beberapa negara.

Namun awalnya. para jurnalis The Boston Globe  tidak menganggap bahwa “krisis” yang menimpa Keuskupan Agung Boston terkait kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh beberapa pastur keuskupan terhadap anak-anak jemaat mereka, sebagai hal yang patut mendapat sorotan khusus.

Mereka bukannya tidak tahu, bahkan sempat menulis beberapa artikel terkait kasus tersebut, meski hanya dalam bentuk artikel-artikel kecil. Hanya saja saat itu, mereka tidak mengetahui betapa besarnya kasus ini. Mereka hanya melihatnya sebagai kesalahan yang dilakukan oleh beberapa pastur. Ditambah, mereka tinggal di sebuah kota dengan mayoritas penduduknya beragama Katolik, 53 persen pembaca koran mereka juga pemeluk Katolik, dan Keuskupan memegang peranan penting dalam setiap sendi kehidupan di kota tersebut.

Pihak Keuskupan Boston sendiri aktif dalam membentuk perspektif, serta mengeluarkan pernyataan yang menggiring opini publik bahwa kasus-kasus tersebut hanyalah contoh dari “beberapa apel busuk di antara sekeranjang apel segar”. Saat Boston Globe di masa lampau mencoba mengangkat salah satu kasus (disebut sebagai Kasus Geoghan), Kardinal Bernard Law (diperankan dengan berkarisma oleh Len Cariou), dia —seperti dikutip dari karakter Robinson–, “ ..menurunkan  kuasa Tuhan atas Boston Globe”. Dalam bahasa kita, para jurnalis Boston Globe takut kualat terhadap pihak gereja.

Selalu butuh orang di luar ekosistem untuk mengubah perspektif terhadap suatu permasalahan. Seseorang yang memandang sebuah persoalan dari sudut pandang pihak luar. Dalam hal ini, muncullah Marty Baron (diperankan dengan sangat apik oleh Liev Schrieber), editor in chief baru Boston Globe pindahan dari Miami Herald.

Berawal dari ketika Marty membaca sebuah kolom di Boston Globe tentang kasus pedofilia yang dilakukan seorang pastur, dia justru melihat ini sebagai sebuah kisah menarik bagi para pembaca koran tersebut.

“ Ini adalah sebuah kisah esensial bagi para pembaca Boston Globe, “ begitu jawaban Marty saat ditanya alasannya tertarik mengangkat kasus ini.

Tentu—sebagai orang yang bukan Bostonian—motif Marty dipertanyakan. Terlebih saat diketahui bahwa ia adalah seorang penganut Yahudi. Marty sendiri di film ini tidak pernah dinyatakan sebagai orang yang mengangkat kisah ini dari sudut pandang kemanusiaan. Ia memandang kisah ini penting untuk pembaca korannya, dari sudut pandang seorang editor in chief. Bahwa kisah ini berpotensi bagus untuk keselamatan bisnis korannya—di era internet yang mulai booming saat itu di tahun 2001–, juga bahwa kisah ini akan membuka cakrawala berpikir pembacanya.

Marty bahkan sempat “berkonfrontasi” secara intelektual dengan Kardinal Law. Secara normatif sebagai editor in chief baru Boston Globe, dia harus sowan ke Kardinal Law. Bukti bahwa Kardinal dan Keuskupan Agung Boston memegang peranan penting di daerah tersebut. Kardinal Law bahkan secara halus meminta Marty untuk “berada di pihak Keuskupan”. Saat dia dengan sopan menolak, Kardinal Law lalu memberikan sebuah buku panduan mengenai catechism. Isyarat bahwa di Boston, Keuskupan adalah pemegang tampuk kekuasaan tertinggi.

Marty lantas meminta Ben Bradlee Jr. (diperankan oleh John Slaterry)—asisten managing editor yang membawahi langsung Spotlight–dan Robby untuk mengangkat skandal tersebut. Sempat terjadi penentangan. Namun, Marty tidak bertindak otoriter.

Ia hanya berkata. “ Maukah kalian mempertimbangkan untuk mengangkat kisah ini?”.

Liev Schrieber membuktikan kapasitasnya sebagai aktor kawakan di adegan tersebut. Ia memang membawakan karakternya dengan begitu membumi. Ia terlihat sebagai editor yang berpakaian konservatif, rapi, berbicara dengan hati-hati, penuh pertimbangan, dan dalam tutur bahasa teratur. Namun, ada otoritas yang mengintimidasi dari cara Liev membawakannya. Bahwa dia adalah person in charge yang bertanggung jawab atas kelangsungan bisnis Boston Globe.

Begitu “bersahajanya” Liev dalam memerankan karakter Marty, hingga bisa dimaklumi bahwa penonton mungkin tidak merasakan keefektifan aktingnya. Tapi, itulah definisi sesungguhnya master-class acting. Bukan selalu meledak-ledak dalam emosi dan penjiwaan, tapi kemampuan sang aktor membawakan karakternya sesuai kebutuhan.

Liev Schrieber (tonton aktingnya di serial Ray Donovan) bukan satu-satunya pelakon yang berakting subtle di Spotlight.  Seluruh aktor di film ini berbuat hal serupa.

Michael Keaton (di sini dia begitu berbeda dari saat dia berakting di Birdman), Rachel McAdams, Mark Ruffalo–hingga ke aktor dengan jatah screentime paling sedikit–mampu berakting secara subtle. Bahkan Stanley Tucci yang berperan sebagai pengacara eksentrik , Mitchell Garabedian (sebuah peran yang bisa dibawakan secara “meluap-luap”), tetaplah harus berada di bawah permukaan.

Hal tersebut kemudian menjadikan Spotlight menjadi definisi sesungguhnya dari film ansambel. Tidak ada satu penampilan yang menutupi penampilan lainnya, melainkan justru saling memperkuat. Dinamika dan resonansi yang terjadi antar para aktor di sini membentuk sebuah entitas yang terintegrasi.

Dari perpaduan penampilan mereka, penonton dapat merasakan intimasi yang sangat kuat dan menghanyutkan. Kalaupun ada yang menonjol seperti karakter Mike Rezendes milik Ruffalo, hal tersebut muncul karena kebutuhan cerita.

Ruffalo sebagai Rezendes memang sejak awal diperlihatkan sebagai jurnalis passionate. Dia cenderung “kepo” terhadap segala sesuatu.  Ada beberapa momen di film ini, di mana  “kekepoan” sebagai insting alami seorang jurnalis, memancing humor. Seperti kala Robby menyebut Rezendes kadangkala bisa menjadi, “pain in the ass”, karena ke-ngeyel-annya. Passion tinggi Ruffalo cenderung menjadikannya sebagai orang yang kadang gegabah dan terburu-buru. Terdapat momen saat Ruffalo secara menggebu “memburu” informasi mengenai skandal seksual Keuskupan di perpustakaan pengadilan, berteriak berburu taksi demi melaporkan hasil temuannya, hingga membentak  atasannya—Robby—karena menganggap dia terlalu lamban dalam mengeksekusi hasil temuannya. Semua terjadi karena eskalasi emosi yang dialami karakter Ruffalo, karena dia sudah peduli dengan kisah tersebut, dan membuatnya melanggar etika jurnalistis untuk selalu berjarak dan menjaga objektifitas. Bukan karena Ruffalo ingin agar karakternya menonjol dibandingkan yang lain. Dan sekali lagi, itulah contoh dari master-class akting sebenarnya.



Fokus Terhadap Jurnalisme

          Salah satu aspek yang membuat Spotlight terasa begitu istimewa adalah karena screenplay dari McCarthy dan Tom Singer, berfokus pada cerita para jurnalis dalam melakukan investigasi. Meski obyek investigasi tersebut adalah kisah pedih para korban pelecehan seksual para pastur, naskah tidak melebar ke pengungkapan trauma dari sudut pandang para korban.

Memang penonton diberitahu betapa pelecehan tersebut membawa dampak psikologis mendalam bagi para korban, yang sengaja “disingkirkan” oleh Keuskupan demi melindungi citra baik. Tetapi semua itu diungkapkan melalui perspektif para jurnalis yang melakukan wawancara dengan para korban sebagai narasumber.

Fokus McCarthy dan Singer dalam menggiring cerita untuk tetap dalam kerangka jurnalistik, lantas membuat film ini terasa obyektif. Seperti halnya sebuah artikel yang ditulis oleh jurnalis handal. Ada emosi, seperti yang diperlihatkan karakter Rezendes dan Sacha Pfieffer, namun emosi itu terasa tertahan. Bahwa karakter-karakter utama terikat dalam suatu kode etik jurnalistis, bahwa perasaan mereka memang lambat laut terlibat, namun mereka tetap harus berjarak dengan ceritanya.

Hal tersebut lantas membuat para jurnalis Spotlight tidak ditampilkan sebagai pahlawan. Mereka hanyalah sekumpulan jurnalis handal yang melakukan tugas, karena atasan mereka meminta.

Sejak Marty meminta mereka untuk melakukan investigasi, maka diperlihatkan berbagai adegan de rigueur seperti yang terlihat di film All President’s Men—film hebat lainnya tentang jurnalisme– saat tim Spotlight bergerak cepat mencari dan mewawancara narasumber.

Di sinilah ketegangan terjadi. Ketika Robby, Mike, Sacha, dan Matt menemui satu per satu orang yang diduga terlibat atau memiliki keterkaitan terhadap skandal. Mulai dari korban, pengacara korban, pengacara keuskupan, hingga para pastur, demi mendapatkan sebuah gambar utuh. Bukanlah tugas yang mudah, karena kekuatan doktrin Keuskupan Agung membuat mayoritas narasumber seakan melakukan omerta, sebuah kode bungkam terhadap kegiatan kriminal dan menolak memberikan pernyataan.

Para jurnalis Spotlight tak patah arang. Mereka diperlihatkan gigih dan memiliki etos kerja tinggi, memeriksa berbagai dokumen dan inventory, mulai dari pengadilan, perpustakaan, hingga ke gudang bawah tanah.

Fokus McCarthy menyorot film dari kacamata jurnalis, juga membuat film ini hanya menyediakan sedikit informasi mengenai para karakter utama. Kita hanya diberi informasi bahwa keempatnya bukanlah jemaat yang taat, bahkan Rezendes tidak lagi pergi ke gereja. Sacha hanya sekali-kali menemani neneknya melakukan kebaktian. Robby, meskipun punya jaringan luas di kalangan gereja, juga bukanlah jemaat yang baik.

Akan tetapi sedikitnya informasi latar belakang para karakter utama, ditutupi dengan kepiawaian para aktornya memainkan gesture, emosi dan bahasa tubuh. Mereka memberikan kedalaman dimensi, justru karena mereka berakting “membumi”.

Perhatikan karakter Rezendes milik Ruffalo. Ada sesuatu dari cara dia membawakan karakternya, yang membuat penonton berpikir bisa jadi dia juga memiliki masa kecil traumatis.

Atau perhatikan juga karakter Robby yang dibawakan Michael Keaton. Momen terbaik darinya datang saat ia menyadari kesalahannya di masa lalu, ketika ia “mengubur” berbagai informasi terkait skandal yang mereka selidiki.



“Para filmmakers di Spotlight sadar betul bahwa kisah di film ini adalah bintangnya. Mereka paham bila kisah yang memiliki tingkat urgensi tinggi seperti ini akan kehilangan keotentikannya bila diperlakukan terlalu “berkilau” dan “stylish”. Namun, jelas film ini dibuat dengan kalkulasi matang, perencanaan cermat, dan melalui riset panjang.”

Mengesampingkan Estetika Sinematis, Mengutamakan Fungsi

Memang menarik ditelaah manakala salah satu film terbaik yang pernah dibuat di Hollywood ini, justru merupakan film yang tidak “glamor”.

Spotlight bukanlah film dengan desain produksi yang “wah”. Juga bukanlah film yang menawarkan para karakter dalam balutan busana mewah. Serta bukan pula film dengan inovasi sinematografi ambisius seperti dua nomine Oscar tahun ini, The Revenant dan Mad Max : Fury Road.

Kesemua elemen teknis Spotlight terasa begitu bersahaja. Seperti yang diungkapkan di awal resensi, bahwa film ini cenderung mengesampingkan estetika sinematis dan lebih mengutamakan fungsi, serta efektifitas dalam bertutur.

Sinematografi besutan Masanobu Takayanagi (Silver Linings Playbook, The Grey), seringkali terkesan hanya menangkap keadaan, tanpa diarahkan. Namun, kamera Takayanagi efektif dalam membawa penonton merasakan betapa faktor reliji berpengaruh kuat pada kota di mana cerita terjadi. Seperti saat dengan sengaja kamera memperlihatkan bangunan gereja yang berdiri sangat dekat dengan lokasi di mana para jurnalis Spotlight mewawancara para korban. Menunjukkan bahwa kekuatan Gereja memang mengintimidasi.

Kostum yang dikenakan para karakter di Spotlight juga lebih mengutamakan fungsionalitas. Busana yang dikenakan para jurnalis, seperti busana yang dibeli di toko kecil, bukan di butik ternama.Hal ini dimaksudkan agar para jurnalis tersebut mampu membaur dengan narasumbernya, agar mereka merasa nyaman saat diwawancarai.

Beberapa busana dipilih untuk menegaskan posisi karakter di masyarakat, seperti setelan jas bagus yang dikenakan para pengacara papan atas atau perwakilan pihak Keuskupan.

Penyuntingan gambar oleh Tom McArdle juga sederhana, namun mampu menyeimbangkan first, second, dan third act. Pada saat investigasi berjalan, ia memakai cross-cutting untuk menyambung beberapa adegan, sekaligus memberikan tensi dramatis. Selebihnya terkesan mengalir apa adanya, bahkan terkesan memiliki struktur episodic layaknya drama televisi.

Itu pula yang terjadi di musik dan score garapan Howard Shore, yang sudah terdengar  bahkan sejak sebelum adegan pertama muncul di layar. Score-nya sederhana dan monoton, dengan menggunakan tuts piano. Namun, terdengar melodius dan penempatannya yang berulang-ulang membuatnya tertanam ke memori.

Hal tersebut memang by design. Para filmmakers di Spotlight sadar betul bahwa kisah di film ini adalah bintangnya. Mereka paham bila kisah yang memiliki tingkat urgensi tinggi seperti ini akan kehilangan keotentikannya bila diperlakukan terlalu “berkilau” dan “stylish”. Namun, jelas film ini dibuat dengan kalkulasi matang, perencanaan cermat, dan melalui riset panjang.

Obyektifitas yang berusaha dijaga oleh McCarthy, juga membuat film ini nyaris tak memiliki karakter antagonis. Mereka hanyalah sekumpulan orang yang mengerjakan tugasnya. Para jurnalis mengerjakan tugasnya sebagai pemburu berita, pengacara mengerjakan tugasnya untuk membela kliennya, sementara Kardinal dan orang-orang Keuskupan mengerjakan tugasnya untuk melindungi citra gereja.

Itu sebabnya, karakter Marty Baron menolak untuk mengangkat cerita yang hanya mengupas para pastur pedofil. Baginya, mereka juga bagian dari korban, meski tim Spotlight mengajukan fakta tentang puluhan pastur yang melakukan tindak pelecehan seksual.

We’re going after the system,” jelas Marty yang menegaskan bahwa mereka tidak berniat menyudutkan perorangan.



Sebuah Paean Untuk Kekuatan Jurnalisme Sebenarnya.

Menonton Spotlight seperti membaca sebuah artikel bagus hasil karya jurnalis handal. Begitu banyak informasi yang tertera, namun berhasil dijahit menjadi satu kesatuan yang asyik untuk dinikmati.

Film ini juga bagaikan sebuah paean untuk kekuatan jurnalisme sebenarnya. Bisa pula dimaknai menjadi pengingat, bahwa jurnalisme yang baik tetap akan mendapat tempat sampai kapan pun. Bahkan di era internet seperti saat ini, di mana semua informasi dapat didapat dengan mudah.

Kisah Spotlight terjadi di tahun 2001, saat internet baru mulai merambah laptop dan komputer desktop, namun belum sesemarak era mobile technology seperti sekarang.

Ada satu shot yang memperlihatkan sebuah billboard AoL, bersanding tepat di samping kantor The Boston Globe. Mengisyaratkan bahwa era printing media akan segera digantikan oleh internet.

Karakter Marty Baron sadar betul hal itu. Itu sebabnya, dia melihat artikel panjang investigasi seperti yang dilakukan Spotlight adalah “penyelamat” bagi industri media.

Hal tersebut bisa dipahami. Era internet saat ini membentuk budaya penulisan artikel yang serba cepat dan instan. Seringkali bahkan melupakan kaidah dasar jurnalisme mengenai, “5W1H”. Terlebih di era jejaring sosial seperti saat ini, tatkala cuitan Twitter atau posting-an Facebook dan Instagram bisa menjadi berita.

Media, terutama media di Indonesia, lupa bahwa jurnalisme yang baik dan disertai riset mendalam memiliki kekuatan untuk mengubah dunia. Bahwa pentingnya melihat sebuah isu, bukan hanya dari pertimbangan clik-bait atau menjual oplah semata. Bisnis jurnalisme bukanlah bisnis yang gemar di zona nyaman, atau bisnis yang memihak pada status-quo. Melainkan sebuah bisnis yang menjadi jendela dunia, membuka cakrawala berpikir pembacanya, dan membuat perubahan.

Spotlight juga menjadi acuan bagaimana sebuah kerja tim yang baik, didukung dengan etos kerja tinggi, akan mencapai hasil maksimal. Sudah semakin sedikit media dan jurnalis yang menjunjung hal itu. Kebanyakan jurnalis di Indonesia, gemar berkumpul di satu tempat liputan, menulis dari angle yang sama, bahkan terkadang tak bisa dibedakan antara  tulisan media yang satu dengan dengan media lainnya.

Determinasi seperti yang dilakukan para jurnalis di Spotlight penting bagi jurnalisme. Itu sebabnya mereka khawatir, bahwa investigasi mereka akan didahului oleh pesaing utama mereka, Boston Herald.

Tak heran, bila Spotlight akan banyak menampar pemilik dan pekerja media di Indonesia, yang semakin banyak mengabaikan kaidah jurnalisme yang baik.

Adegan penutup Spotlight saat telepon berdering di meja-meja ruang kerja redaksi, menjadi konklusi sempurna. Telepon-telepon tersebut datang dari para korban pelecehan seksual para pastur Keuskupan Agung Boston yang selama ini takut untuk berbicara. Telepon-telepon tersebut merupakan hasil tak terbayar dari kerja kerasnya dan tim jurnalis selama berbulan-bulan.

Adegan saat Robby tertegun dan terkesima bahwa hasil kerja keras mereka mendapat respon luar biasa adalah suatu ekspresi mahal dan tak ternilai. Dia lalu melangkah ke ruang kerjanya dan mengangkat telepon, mengatakan satu kata, “Spotlight!”.

Sebuah adegan penutup yang menggetarkan dan tak terasa membuat air mata menetes. Tetesan air mata karena kisah yang menggugah hati, juga karena kerinduan akan karya jurnalisme yang dikerjakan dengan hati.

(5/5)

By @Picture_Play

Will be showed in CGV Blitz

Indonesia Released date : February 16, 2016

Running time : 129 minutes

Distributed in Indonesia by : Jive Movies

Production company : Anonymous Content, First Look Media, Participant Media, Rocklin/Faust

Produced by : Byle Pagon Faust, Steve Golin, Nicole Rocklin, Michael Sugar

Directed by : Tom McCarthy

Written by : Tom McCarthy, Josh Singer (Original Screenplay based on a series of stories by the real Spotlight Team which were published in 2002)

Starring : Michael Keaton, Mark Ruffalo, Rachel McAdams, Liev Schreiber, John Slattery, Stanley Tucci

Music By : Howard Shore

Cinematography : Masanobu Takayanagi

Edited by : Tom McArdle