Our Kind of Traitor Review : Adaptasi Cerdas Dan Elegan Yang Tak Cukup Menyentak Jiwa

“Sitiran puisi T.S Eliot itu yang kemudian menjadi tema besar Our Kind of Traitor, film adaptasi novel berjudul sama karya John Le Carre keluaran tahun 2010. Puisi tersebut juga sekaligus menggambarkan dan mewakili perwatakan karakter Perry Makepiece, seorang yang mengikuti kata hati, kompulsif dan tak segan menantang arus keramaian. Puisi tersebut juga menyumirkan keseluruhan cerita film.”




Ada sebab khusus saat Susan White, sutradara film adaptasi novel Our Kind of Traitor, memilih untuk menampilkan adegan karakter Professor Perry Makepiece (diperankan dengan sangat baik oleh Ewan McGregor) menyitir puisi pujangga besar Inggris, T.S Eliot, yang berjudul The Waste Land.

Karakter Perry, seorang dosen yang mengajarkan kajian puisi di universitasnya, di depan para mahasiswanya kemudian membandingkan karya agung Eliot tersebut dengan karya agung pujangga lainnya, Dante Alighieri yang berjudul Inferno.

Alasannya valid dan masuk akal, saya menyetujuinya.

Perry Makepiece menyebutkan bahwa dua puisi karya pujangga agung tersebut menggambarkan sebuah masyarakat yang jatuh akibat korupsi. Karena kejahatan luar biasa itulah yang kemudian membuat masyarakat kehilangan jiwanya.

Sitiran puisi T.S Eliot itu yang kemudian menjadi tema besar Our Kind of Traitor, film adaptasi novel berjudul sama karya John Le Carre keluaran tahun 2010. Puisi tersebut juga sekaligus menggambarkan dan mewakili perwatakan karakter Perry Makepiece, seorang yang mengikuti kata hati, kompulsif dan tak segan menantang arus keramaian. Puisi tersebut juga menyumirkan keseluruhan cerita film.

Momen yang terdapat dalam versi novelnya itu secara cerdas diadaptasi oleh White, sutradara Inggris yang merupakan sineas perempuan pertama yang mengadaptasi karya Le Carre ke dalam film. Peletakannya di dalam film mewakili sensitifitas narasi di novelnya. Meski memang kemudian disayangkan, tema besar masyarakat yang kehilangan jiwanya akibat praktik korupsi menjadi menyempit di dalam filmnya akibat keputusan White membawa film ini layaknya drama thriller politik kebanyakan, tentang dua individu yang bertemu di waktu dan posisi pelik, yang kemudian menyeret mereka ke dalam pusaran arus konflik berbahaya. Film in juga gagal dalam menyampaikan subjektivitas dari berbagai sudut pandang karakter yang sebenarnya memiliki peranan krusial dalam penceritaan dan membangun tensi. Misalnya, kealpaan memasukkan sudut pandang keluarga karakter Dima (diperankan dengan kapasitas seorang thespian dari Stellan Skarsgard), seorang kaki tangan bos mafia Rusia yang memutuskan untuk membelot ke pemerintah Inggris demi menyelamatkan keluarganya.

Sebuah keputusan yang lantas membuat hasil akhir filmnya menjadi menyempit dan generik, tanpa melahirkan sebuah provokasi pemikiran yang menggugah jiwa usai menontonnya, seperti puisi T.S Eliot yang disitir oleh Makepiece.

“John Le Carre sendiri pernah menganalogikan pernikahan dengan negara. Bahwa sebuah negara bisa mengalami rusuh dan gagal seperti halnya sebuah perkawinan.”



SUBJEKTIVITAS YANG HILANG

Sebenarnya ada banyak momentum dalam naskah Hossein Amini (Drive, the Wings of the Dove) yang menjadikan Our Kind of Traitor ini sebagai adaptasi yang cerdas dari rangkaian teks rumit di novelnya. Salah satunya adalah keputusan untuk mengubah situasi yang mempengaruhi keberadaan Perry Makepiece dan istrinya berada di Maroko, suatu plot kunci dalam cerita yang memicu konflik utama.

Dalam novelnya, Makepiece dan istrinya berlibur ke Maroko karena sang istri yang berprofesi sebagai barrister, kelebihan uang. Sementara di filmnya, Makepiece dan Gail (diperankan oleh Naomie Harris yang sayangnya hanya berfungsi sebagai foil) berlibur sebagai upaya untuk menghangatkan kembali hubungan mereka yang tengah mengalami krisis. Hal tersebut digambarkan di filmnya lewat shot saat Gail terlihat enggan bercinta dengan Makepiece. Gail diperlihatkan punya beban pikiran dan tidak bisa menyatukan pikiran dan tubuhnya dengan sang suami, karena suatu trauma masa lalu antara keduanya. Kita kemudian diberitahu apa yang menjadi penyebab hubungan mereka dalam masalah.

Keputusan Amini mengubah alasan keberadaan Makepiece dan Gail di Maroko, lantas mempengaruhi mood penceritaan dan juga motivasi Makepiece kenapa ia mau berkenalan dan berteman dengan Dima, orang asing yang baru ditemuinya di restauran hotel tempatnya menginap di Maroko, di mana ia berbagi segelas anggur mahal Châteu Pétrus dan kemudian mau ikut dengan Dima menghabiskan malam di sebuah pesta liar ala Bacchic Romawi kuno yang melibatkan minuman keras dan aktivitas seksual. Tentunya beralasan bagi karakter seperti Makepiece yang sedang bermasalah dengan istrinya untuk sejenak melepaskan diri dan bersenang-senang. Terlebih Gail, sang istri, punya pekerjaan yang harus diselesaikan.

John Le Carre sendiri pernah menganalogikan pernikahan dengan negara. Bahwa sebuah negara bisa mengalami rusuh dan gagal seperti halnya sebuah perkawinan.

Perubahan yang dilakukan Amini tersebut membuktikan kapasitasnya sebagai penulis naskah handal peraih Oscar yang bisa menerjemahkan perbedaan kepentingan narasi antara di novel dan film.

Dari pesta ala Bacchic itu, pertemanan antara Makepiece dan Dima berlanjut ke permainan tenis lapangan, serta berbagi cerita pribadi. Dima yang memiliki tato di sekujur tubuhnya dan bergaya hidup jet-set itu ternyata adalah pencuci uang milik bosnya. Di awal pertemuan Dima dan Makepiece, kita diberitahu bahwa Dima memiliki kemampuan eidetic memory, sebuah kemampuan mengingat hanya dengan melihat sebuah objek ( angka-angka) dalam hitungan detik. Kemampuan luar biasa yang akan menjelaskan alasan dia tetap hidup dan juga memberi petunjuk di akhir film.

Di pesta ulang tahun mewah anak perempuannya, Dima meminta Makepiece untuk membantunya melakukan satu hal yang berbahaya. Dima ingin agar Makepiece memberikan sebuah flash-disk USB kepada agen rahasia Inggris, MI6, yang berisi informasi penting terkait praktik pencucian uang yang dilakukannya selama ini. Sebuah praktik yang melibatkan pejabat penting di pemerintahan Inggris. Alasan Dima melakukan tersebut adalah untuk melindungi anak dan keluarganya. Di opening sequence, kita diberitahu alasan lain Dima melakukan pembelotan di mana melibatkan teman baiknya. Kita juga diperlihatkan sebuah pistol yang berfungsi sebagai McGuffin.

Tentu saja Makepiece menerima permintaan yang sebenarnya berbahaya itu. Suatu keputusan yang juga sempat ditentang oleh Gail, istrinya. Dapat pula dimaklumi bila penonton juga mempertanyakan motivasi Makepiece, seorang kutu buku yang gemar puisi dan awam dalam spionase, mau melakukan hal tersebut.

Tapi sebenarnya naskah memberikan beberapa alasan masuk akal mengapa Makepiece mau melakukannya. Profesi Makepiece sebagai dosen kajian literatur klasik menjadikannya sebagai karakter yang sensitif dan kompulsif, serta tak segan langsung bertindak bila ada yang tak berkenan di hatinya. Tipikal seorang seniman sejati. Di adegan pesta, kita diperlihatkan juga bagaimana Makepiece langsung bereaksi menolong seorang perempuan yang mengalami penyiksaan seksual oleh salah seorang rekan Dima.

Namun yang kemudian membuat kita mempertanyakan tindakan Makepiece adalah saat dia sebagai seorang amatir, tidak diperlihatkan memiliki rasa takut dan gentar dalam melakukan tindakan amat berbahaya ini. Dalam sebuah adegan  yang dikemas dalam penyuntingan intercutting di mana Makepiece dan Dima harus memberikan informasi baru kepada petugas MI6 bernama Hector Meredith (diperankan secara efektif oleh Damien Lewis) di sela-sela permainan tenis, kita tidak merasakan rasa takut di diri Makepiece. Kita sedari awal diajak untuk berpikir dan merasa dari sudut pandang Makepiece, tapi kita tidak merasakan subjektivitas darinya. Bagaimana rasa takut yang ia hadapi saat berada di situasi segenting dan sepelik itu. Kekhawatiran ia tentang apa yang terjadi pada dia dan istrinya bila operasi mereka gagal.

Subjektivitas tidak hanya hilang lewat karakter Makepiece, tetapi juga dari sudut pandang keluarga Dima. Keluarga adalah alasan utama karakternya membelot dan ingin berhenti sebagai pencuci uang kelompok mafia Rusia, tetapi film ini alpa dalam menghadirkan bagaimana posisi Dima di mata keluarganya. Kita hanya diberitahu lewat ujar-ujar Dima bahwa ia akan melakukan apa saja untuk menjamin keluarganya selamat dan tetap hidup. Kita percaya akan hal itu.

Tetapi Our Kind of Traitor luput untuk memberitahu apa yang dirasakan anggota keluarganya terhadap Dima. Apakah mereka tahu profesi pria ini? Bahkan istri Dima yang diperankan oleh Kawtia Elizarova tidak diberi dialog dengan suaminya. Padahal karakter istri Dima ini memiliki fungsi krusial sebagai orang kedua dalam rumah tangga.

Kelemahan terbesar yang menjadikan Our Kind of Traitor kehilangan gregetnya memang muncul akibat terlalu banyaknya sudut pandang yang digunakan, tanpa ada yang dieksplorasi secara tuntas dan dalam, serta akhirnya membuat kita tidak benar-benar terikat secara emosional dengan ceritanya. Kadang cerita dihadirkan lewat sudut pandang Dima, kadang lewat Makepiece, kadang lewat Gail, atau melalui karakter Hector. Kesemua sudut pandang itu melakukan tinjauan atau observasi terhadap suatu objek yang sama, yaitu tentang keambiguan moral dan etika dalam memaknai sebuah tindakan. Apakah keputusan Dima membuatnya secara otomatis sebagai korban dari sebuah sistem yang otoriter dan korup? Apakah Makepiece merupakan seorang yang bodoh atau justru seorang pahlawan? Apakah Hector sebagai seorang perwakilan MI6 adalah murni seorang berjiwa patriot, meski dia harus menjadikan dua warga negara Inggris sebagai umpan?



KERJA KAMERA YANG EFEKTIF

Keambiguan moralitas dan etika sebenarnya adalah dua tema yang selalu ditemukan dalam karya-karya Le Carre. Tetapi film adaptasi Our Kind of Traitor, justru terlihat ingin menyederhanakan kepelikan dan keambiguan dalam sebuah kerangka berpikir salah dan benar, melalui banyaknya sudut pandang.

Adaptasi Our Kind of Traitor ini sebenarnya memiliki kesamaan dengan A Most Wanted Man (2014), film adaptasi novel Le Carre yang diarahkan oleh Anton Corbijn.

Karakter Dima merupakan perwujudan lain dari karakter Issa Karpov (Grigoriy Dobrygin, turut bermain di Our Kind of Traitor), seorang Muslim Rusia anak seorang jenderal penjahat perang yang memutuskan untuk mencari suaka di Jerman dan mendonasikan uang warisan ayahnya ke badan amal; karakter Perry Makepiece dan Gail mengingatkan kepada karakter Annabel Richter (Rachel McAdams) dan Tommy Brue (Willlem Dafoe), pengacara dan bankir yang membantu Issa; serta karakter Hector Meredith mengingatkan kepada karakter Günther Bachmann (diperankan mendiang Phillip Seymour Hoffman), petugas dinas rahasia yang bertugas memata-matai dan menjamin keamanan negara.

Yang membuat A Most Wanted Man lebih meninggalkan kesan dan menggugah pemikiran ketimbang Our Kind of Traitor adalah karena film pertama berfokus pada subjektivitas karakter Issa dan Günther. Bahwa kedua karakter itu memiliki alasan yang sama benarnya dan penonton menjadi saksi mata, yang akhirnya merasakan dilema moralitas kedua karakter itu. Twist di akhir A Most Wanted Man membuat kita geregetan dan geram atas pengkhianatan, sementara twist di Our Kind of Traitor terasa lempeng karena kita tidak terikat secara emosional.

Saya juga mempertanyakan keputusan menghadirkan Our Kind of Traitor dalam palette warna sephia. Apakah untuk menghadirkan atmosfer ala perang dingin di era 60’an? Apakah untuk memperkuat kesan elegan dan nyeni? Entahlah.

Palette warna tersebut berpadu dengan kerja kamera yang kerap mengambil gambar secara medium to close up menjadikan Our Kind of Traitor seperti sebuah film televisi. Sungguh kurang bersanding dengan kejelian kamera arahan Anthony Dod Mantle, sinematografer yang kerap bekerjasama dengan sineas handal macam Lars Von Trier dan Danny Boyle. Kameranya kerap menyorot benda-benda kecil yang memberi kita petunjuk bahwa mereka akan memiliki peran signifikan dalam film, seperti deretan angka-angka hingga ke pistol yang gagangnya dihiasi permata.

Keefektifan kamera Dod Mantle dibuktikan dalam satu momen saat Gail dan Makepiece berdiri sejajar namun dipisahkan oleh pegangan tangga elevator. Kamera mengambil gambar kedua karakter di pinggir frame, yang menunjukkan keterasingan dan konflik di antara keduanya. Mereka boleh jadi menuju tempat yang sama dan di arah yang sama, namun hati mereka bercabang ke arah berbeda.

Keefektifan kamera Mantle juga yang memberikan konklusi sempurna dan sekaligus visualisasi puisi karya T.S Eliot yang disitir oleh Makepiece, seperti yang saya tulis di paragraf awal ulasan ini. Saat Makepiece berjalan menyusuri jembatan kota London dan ia satu-satunya orang yang terlihat melawan arah kerumunan khalayak. Kerumunan khlayak yang berjalan tergesa-gesa, tanpa ekspresi, seolah seperti robot tak berjiwa dan memiliki kendali atas diri mereka sendiri.

Sesuai dengan bait puisi T.S Eliot yang disitirnya, “ … a crowd flowed over London Bridge, so many, I had not thought death had undone so many…”.

Sebuah simbolisasi dan visualisasi bahwa diperlukan orang seperti Perry Makepiece agar korupsi dan kejahatan terorganisir yang menghancurkan nilai kemanusiaan bisa dikebiri. Namun, sayang seribu sayang, narasi dalam film Our Kind of Traitor tak memiliki efek seperti yang dilakukan T.S Eliot dan puisinya.

Apakah film ini buruk dan gagal? Tidak. Film ini memiliki kecerdasan dan keeleganan, hanya saja tak cukup menyentak jiwa.

(3/5)

Still playing

Reviewed at Cinemaxx Plaza Semanggi, August 29, 2016

Imported and distributed by Feat Pictures, a subsidiary of Cinemaxx Lippo Group.

Production : (U.K.) A Lionsgate, Roadside Attractions release of a StudioCanal, Film4 presentation, in association with Anton Capital Entertainment, Amazon Prime Instant Video, of an Ink Factory Production, in association with Potboiler Prods

Producer : Gail Egan, Stephen Cornwell, Simon Cornwell

Co-producer : Jane Frazer

Executive producers : Olivier Courson, Ron Halpern, Jenny Borgars, Tessa Ross, Sam Lavender, John le Carré.

Director : Susanna White

Screenplay : Hossein Amini

Based on the novel : Our Kind of Traitor by John Le Carre

Camera (color, widescreen, HD) : Anthony Dod Mantle

Editors : Tariq Anwar, Lucia Zucchetti

Music : Marcelo Zarvos

Production designer : Sarah Greenwood

Casts : Ewan McGregor, Stellan Skarsgård, Damian Lewis, Naomie Harris, Jeremy Northam, Mark Stanley, Alicia von Rittberg, Mark Gatiss, Saskia Reeves, Alec Utgoff, Pawel Szajda, Grigoriy Dobrygin.

Dialogue in : English, Russian, French

Leave a comment