Train To Busan Review : Mise-en-Scene Drama Zombie

September 16, 2016

“Pengalaman Sang-ho dalam menggarap film animasi sangat membantunya sewaktu membangun dunia dan pengadeganan mise-en-scene di Train To Busan. “

Train To Busan  bekerja berdasarkan pitch : Snowpiercer dipadukan dengan 28 Days Later dan World War Z. Ditambahkan sedikit elemen Flu (2013), film bencana produksi Korea Selatan arahan Kim Sung-su.

Sub-genre zombie memang kerap dieksploitasi dalam bisnis sinema akhir-akhir ini. Naiknya pamor serial televisi The Walking Dead turut menjadi pemicu. Sebenarnya hal ini merupakan sebuah ironi, karena saat George Romero memperkenalkan sub-genre ini lewat Night of the Living Dead, zombie merupakan medium dia untuk mengkritik gaya kapitalisme Amerika. Kini, zombie justru menjadi sarana penghasil uang. Film-film mengenai mahluk yang sudah kehilangan kontrol atas dirinya tersebut kerap disajikan sebagai blockbuster entertainment yang digarap dengan desain produksi yang megah dan berskala besar.

Tapi tidak lantas membuat kisah zombie kehilangan fungsi sebagai kritik dan komentar terhadap masyarakat. Setidaknya itulah yang bisa didapat dari film-film zombie yang berhasil, baik secara komersial dan artistik.

Train to Busan pun melampirkan sebuah komentar sosial dalam balutannya sebagai sebuah film zombie blockbuster dengan sentuhan melodrama khas film-film komersial Korea Selatan. Tentang sebuah masyarakat urban modern memaknai gaya hidup individual dan seringkali acuh terhadap derita sesama. Di era teknologi telepon pintar, masyarakat urban modern malah sering mengucilkan diri. Lebih senang berinteraksi melalui jejaring sosial dan menjauhkan diri dari hubungan sosial nyata. Film ini juga memberikan sentilan politik. Meski sayangnya—bila Anda akrab dengan sajian film produksi Korea Selatan—unsur melodramatis kerap mengambil alih.

Sentilan terhadap sistem kapitalis industri sebenarnya sudah dimasukkan secara implisit dalam naskah karya Park Joo-suk ini.

Dalam adegan pembuka, tampak sebuah mobil pick-up pengangkut hewan ternak memasuki sebuah jalan bebas hambatan. Ada sesuatu yang berbeda kali ini karena sesaat setelah memasuki pintu jalan tol, setiap mobil yang lewat harus melewati proses sterilisisasi. Petugas yang memakai kostum serba tertutup dari bahan aluminium mengatakan kepada supir pick-up itu bahwa ada kebocoran dari sebuah pabrik dan sebenarnya jalan itu sudah ditutup untuk umum.

Kita tidak diberitahu pabrik apa yang mengalami kebocoran dan apa dampaknya bagi mahluk hidup. Sampai akhirnya mobil pick-up itu menabrak seekor rusa. Sekilas sang supir memeriksa keadaan rusa yang sudah mati. Tapi setelah mobilnya berlalu, rusa itu bangkit kembali. Kini kornea matanya sudah tertutup selaput keruh tebal. Seperti mata seseorang yang terkena katarak. Kita tahu bahwa ada yang tidak beres.

Apakah “kebocoran pabrik” itu yang menjadi pangkal persoalan menyebarnya virus zombie? Kita tidak pernah diberi penjelasan hingga akhir film.

Yang kemudian terlihat di layar adalah bahwa virus tersebut telah menyebar dengan begitu cepat. Berkembang biak dan menulari para penduduk di kota-kota besar. Satu korban yang sudah terinfeksi menggigit yang lain hingga berubah menjadi zombie. Dalam sekejap, ribuan orang sudah tertular. Kota-kota menjadi porak poranda, mobil dan berbagai fasilitas kota rusak dan terbakar. Lagi, kita tidak pernah tahu bagaimana proses itu terjadi.

Train To Busan, seperti judulnya, lebih memfokuskan cerita kepada apa yang terjadi dalam kereta api. Tentang bagaimana para penumpangnya menghadapi serangan para zombie dan bagaimana mereka berusaha menyelamatkan diri.

Para penumpang di kereta menuju Busan itu termasuk Seok-woo (Gong Yuu) dan anak perempuannya, Soo An (Kim Su-an). Seok-woo yang berprofesi sebagai seorang manajer perdagangan bursa saham ini bermaksud mengajak anaknya mengunjungi ibunya yang tinggal di Busan. Hanya sekitar 2 jam perjalanan menggunakan kereta api dari kota tempat mereka tinggal. Seok-woo adalah tipikal pebisnis egois yang menempatkan pekerjaan di atas segalanya. Dia bahkan tak menyadari bahwa telah membelikan satu hadiah yang sama untuk Soo An di hari ulang tahun anaknya itu. Keegoisan  dan ketidakpedulian Seo-woo juga yang membuat dia bercerai dengan ibunda Soo An.

Segalanya tampak berjalan lancar, hingga satu orang yang sudah terinfeksi virus zombie berhasil masuk ke dalam kereta yang ditumpangi ayah dan anak itu. Dengan cepat virus pun menyebar dan mengubah para penumpang lain menjadi zombie. Para penumpang lainnya tidak menyadari hal itu, sampai kepanikan terjadi. Mereka hanya melihat berita huru-hara di televisi dan berbagai media online. Kata “mayat hidup” pun menjadi trending topic di jejaring sosial. Para penumpang dalam kereta baru sadar bahwa marabahaya sudah menjalar ke mana-mana, saat mereka melihat lewat jendela kereta bahwa tragedi itu sudah merambah di berbagai stasiun yang mereka lewati.

Kereta api dalam Train To Busan berfungsi sebagai frame penceritaan, seperti di Snowpiercer. Moda transportasi ini juga menjadi alegori pengkotak-kotakan strata ekonomi di masyarakat. Ada penumpang kelas eksekutif, bisnis, hingga ekonomi. Pilihan yang hanya bisa ditentukan oleh jumlah uang yang dimiliki. Hanya saja dalam Snowpiercer, pengkastaan di setiap gerbong kereta jelas terlihat sehingga komentar dan kritik sosial secara gamblang hadir melalui konflik yang terjadi di setiap gerbong. Dalam Train To Busan, setiap gerbong terlihat nyaman.

Seok-woo dan Soo An tentu tidak sendirian.

Kita lalu mengenal Sang Hwa (Ma Dong-seok), seorang pria bertubuh gempal berotot  yang naik kereta bersama istrinya yang sedang hamil tua, Sung Kyung (Jung Yu-mi); seorang CEO bisnis jasa transportasi yang culas dan egois, Yong-suk (Kim Eui-sung); dua perempuan baya kakak beradik; seorang gelandangan yang tahu bahwa bencana itu terjadi; serta dua orang remaja yang memakai seragam modis khas sekolah-sekolah di Korea Selatan atau Jepang. Saya selalu memiliki masalah dalam menghapal nama-nama karakter dan aktor di film-film produksi Korea Selatan. Selain nama mereka yang sulit untuk diingat, di kebanyakan film negara itu setiap wajah aktor dan perilaku karakter mereka nyaris serupa satu sama lain. Beruntung, Train To Busan memberikan determinasi fisik dan karakter jelas pada setiap karakter utamanya. Kita mungkin tak bisa menghapal nama mereka satu per satu, tetapi kita bisa mengenali karakteristik lakon yang mereka perankan.

Ada sedikit sains dalam Train To Busan, yaitu saat para karakter di film ini mengenali bahwa para zombie tersebut bereaksi terhadap suara dan hanya bisa melihat mangsanya dalam benderang cahaya. Penulis naskah dengan jeli melihat korelasi respon para zombie di sini dengan kornea mata mereka yang sudah tertutup selaput tebal keruh. Sayangnya sains tersebut hanya sebagai gimmick, tanpa dieksplorasi lebih jauh yang sebenarnya bisa memberikan kedalam unsur fiksi ilmiah dalam film ini. Satu pertanyaan kemudian muncul. Bila mereka sudah mengetahui kelemahan para zombie itu, mengapa mereka tak membaginya di jejaring sosial atau memberi tahu penumpang lain? Toh, meski suasana sudah kacau balau, koneksi jaringan tetap tersedia dengan baik.

Logical fallacy dalam plot Train To Busan tentu saja dikesampingkan demi  membangun tensi lewat dramatisasi khas sinema komersil Korea Selatan. Tensi dan nilai suspensi dalam film ini hadir karena penggambaran kepanikan yang kadung melanda para penumpang kereta. Kepanikan yang digabung dengan minimnya pengetahuan mereka tentang apa yang terjadi, semakin dicuatkan lewat hadirnya plot idiot (sebuah plot yang sudah saya jelaskan di ulasan Don’t Breathe). Plot idiot itu memang dimanfaatkan dengan maksimal oleh kamera arahan sinematografer Lee Hyung-deok. Kamera kerap menyorot reaksi bingung satu karakter dalam durasi lama, sebelum akhirnya dia menyadari apa yang harus dilakukan. Teknik ini menimbulkan rasa geram di diri kita sebagai penonton. Geram bahwa sebenarnya para karakter di film ini bisa mengambil keputusan dengan singkat, setelah mereka telah cukup mengenali situasi yang sedang mereka hadapi.

Kegemaran sinema komersil Korea Selatan dalam memanfaatkan nuansa melodramatis dalam menyampaikan ceritanya, juga semakin memperkuat keberadaan logical fallacy. Lewat score orkestra mendayu-dayu dan digabungkan dengan sub-plot sentimentil romansa menurunkan tensi penceritaan. Sentimentil romansa dihadirkan untuk menimbulkan keberpihakan dan simpati penonton terhadap pengorbanan yang dilakukan oleh para karakter. Ya, pengorbanan demi seseorang yang dicintai menjadi unsur yang tak bisa dihindari saat kita menyaksikan film komersil produksi Korea Selatan. Beberapa dari Anda akan terpengaruh, tetapi sebagian yang lain akan merasa geram.

Train To Busan adalah karya feature live-action pertama dari sutradara, Yeon Sang-ho. Sebelum film ini, Sang-ho telah dikenal sebagai insan kreatif di balik film animasi The King of Pigs (2011) dan The Fake (2013). Pengalaman Sang-ho dalam menggarap film animasi sangat membantunya sewaktu membangun dunia dan pengadeganan mise-en-scene di Train To Busan. Sineas animasi amat mengandalkan penggunaan storyboard dalam menyampaikan cerita. Hal yang sama bisa kita lihat di Train To Busan. Pengadeganan di film ini terlihat rinci dan detail, sehingga membantu kerja kamera dalam menangkap berbagai momen penting. Penggunaan storyboard juga membantu Sang-ho dan desain produksi dalam menciptakan berbagai set-pieces yang menjadi syarat mutlak dalam film komersil aksi berbujet besar. Tak kurang terlihat lebih dari 14 set-pieces dalam film ini. Adegan saat kerumunan zombie mengejar terasa megah dan fantastis.

Sang-ho menggunakan palette warna lewat pilihan gradasi warna orange & teal composition. Warna kelabu dominan dalam latar belakang, seperti warna langit dan dalam menggambarkan suasana porak-poranda. Menimbulkan atmosfer industry dan post-apocalypse.

Efektivitas Train To Busan amat terbantu oleh permainan akting para pemerannya. Gong Yu terlihat pas dalam membawakan karakternya sebagai seorang ayah yang dingin, acuh dan ambisius dalam karir. Dalam momen penting, Gong Yu berhasil menghadirkan ekspresi kekhawatiran seorang ayah atas nasib anaknya. Penjiwaannya dalam momen dramatis di adegan krusial membuat kita menaruh iba. Di sini, peralihan dari seorang pria egois menjadi seorang ayah penyayang menjadi tepat sasaran.

Kim Su-an menjadi bukti lebih jauh bahwa seorang aktor kanak-kanak seringkali menjadi istimewa lewat kepolosannya. Su-an sebagai Soo an adalah satu-satunya karakter polos dan tak berdosa dalam film ini. Dia masih menunjukkan rasa empati terhadap kemanusiaan, penggambaran karakter asli manusia saat masih belum mengenal ambisi dan uang. Soo-an tak mengindahkan nasihat ayahnya untuk memikirkan diri sendiri di tengah situasi yang sedang mereka hadapi.

Namun, karakter yang paling mencuri perhatian justru hadir lewat Sang-Hwa yang diperankan oleh Ma Deong-sook. Bukan hanya karena penampilan fisiknya yang menonjol, melainkan juga lewat karakteristik perannya sebagai pria simpatik. Pengorbanannya di film menjadi beralasan dan logis. Sebuah pengorbanan yang bukan hanya demi istrinya, melainkan juga untuk orang lain.

Train To Busan berhasil menjadi sebuah film zombie yang efektif dalam fungsinya sebagai hibuan. Keistimewaannya terletak di ranah drama. Tentang pengorbanan manusia kepada sosok yang mereka cintai. Film ini juga menampilkan bahwa setiap karakternya tidak luput dari hukuman dan penghakiman.

Pesan itulah yang membuat Train To Busan menjadi sebuah film komersil berbujet mahal yang istimewa. Tetapi sebagai salah satu film zombie terbaik? Saya pikir tidak. World War Z, Rammbock (film zombie indie produksi Jerman yang memberikan sentuhan Mozart di dalamnya) dan Shaun of The Dead masih terlampau tangguh untuk dilampaui.

Saya menantikan film zombie adaptasi novel, The Girl With All The Gifts. Semoga film itu berhasil menghantarkan sebuah definisi baru terhadap genre zombie yang semakin hari semakin sering kita saksikan.

(3/5)

Reviewed at CGV Blitz September 8, 2016

Distibuted in Indonesia by Jive Movies

A Next Entertainment World release, presentation of a Redpeter Film production.

Producer :  Lee Dong-ha

Executive producers :  Kim Woo-taek

Co-producer : Kim Yeon-ho

Director : Yeon Sang-ho

Screenplay : Yeon Sang-ho

Camera (color, HD) : Lee Hyung-deok

Editor : Yang Jin-mo

Music : Jang Young-gyu

Production designer : Lee Mok-won

Costume designer : Kwon Yoo-jin, Rim Seung-hee

Sound :Choi Tae-young

Special make-up : Kwak Tae-yong, Hwang Hyo-kyun

Special effects, Demolition; visual effects supervisor, Jung Hwang-su

Visual effects, Digital Idea

Casts : Gong Yoo, Kim Su-an, Jung Yu-mi, Ma Dong-seok, Kim Eui-sung, Choi Woo-sik, An So-hee.

Dialogues in Korea.

 

 

 

 

One Comment

Leave a comment