Wonderful Life Review : Perjalanan Yang Gagal Memantik Pemahaman Emosional

October 17, 2016

“Sayangnya, Wonderful Life gagal dalam memberikan saya suatu “pemahaman emosional”. Film ini terasa hanya sebagai pemaparan berbagai gejala. Belum sampai kepada sebuah hipotesis, apalagi diagnosis. Isu disleksia hanya sebagai plot device, bahkan terasa sebagai sebuah McGuffin.”




Wonderful Life, yang merupakan debut penyutradaraan feature Agus Makkie, dibuka dengan keterangan yang menjelaskan definisi ‘disleksia’’. Sebuah definisi yang di era internet saat ini akan dengan amat mudah ditemukan. Ada ratusan entry mengenai disleksi bila Anda mencarinya dengan menggunakan Google. Lewat laman situs alodokter.com, saya mendapatkan pengetahuan bahwa, “disleksia adalah salah satu jenis gangguan atau kesulitan belajar yang umumnya memengaruhi kemampuan membaca serta pengejaan seseorang.” Menurut situs tersebut juga, disleksia bisa dialami oleh setiap anak, baik dengan tingkat kecerdasan tinggi ataupun rendah.

Pencantuman definisi disleksia di awal Wonderful Life menunjukkan apa yang menjadi subjek utama penceritaan di film ini. Sebuah subjek yang semestinya akan dengan mudah menimbulkan rasa simpati dan empati. Atau setidaknya akan memantik sedikit emosi.

Sekarang ini, kita akan dengan begitu gampangnya mencari informasi mengenai ‘disleksia’ lewat komputer atau berbagai piranti lainnya, tentunya saya tidak tertarik menonton Wonderful Life hanya untuk diberitahu mengenai apa itu ‘disleksia’. Saya ingin mendapatkan sebuah “pemahaman emosional” melalui ‘disleksia” sebagai framing device. Bukan hanya sekadar pemahaman apa itu “disleksia”. Film adalah sebuah medium penceritaan emosional. Sebuah film yang berhasil adalah bila penonton terlibat secara emosional dengan ceritanya. Dengan karakter-karakternya.

Sayangnya, Wonderful Life gagal dalam memberikan saya suatu “pemahaman emosional”. Film ini terasa hanya sebagai pemaparan berbagai gejala. Belum sampai kepada sebuah hipotesis, apalagi diagnosis. Isu disleksia hanya sebagai plot device, bahkan terasa sebagai sebuah McGuffin.

Hal itu terjadi karena, alih-alih memfokuskan diri dari subjektivitas penderita disleksia (dalam hal ini seorang karakter anak bernama Aqil), Wonderful Life lebih memusatkan perhatiannya kepada karakter orang dewasa. Karakter perempuan, ibu Aqil, yang bernama Amalia (diperankan oleh Atiqah Hasiholan).

Kita sebagai penonton hanya diberikan “gejala-gejala” disleksia. Yaitu saat Aqil (diperankan oleh aktor anak, Sinyo) mencoba membaca sebuah buku, tetapi dalam penglihatannya, susunan huruf-huruf dalam buku itu terbolak-balik. Berpencaran kesana kemari. Atau saat Aqil menulis sederet kata-kata di papan tulis, susunannya terbolak-balik. Kita akan tahu bahwa Aqil mendapat perlakuan buruk dari teman-temannya karena kekurangannya itu. Kita nanti tahu jika Aqil memperoleh prestasi buruk di sekolah. Tapi, hanya itu saja. Hanya sebatas pengetahuan. Pengetahuan yang kebanyakan dituturkan oleh karakter lain. Kita tak pernah diajak masuk ke dalam subjektivitas Aqil. Kita tak pernah dibawa memahami emosi apa yang dia rasakan. Kita hanya melihat dari sudut pandang karakter. Kita hanya seperti melihat sekumpulan visualisasi informasi tentang penderita disleksia yang diperoleh lewat Google dan coba dimasukkan ke dalam adegan atau dialog. Kita hanya tahu bahwa Aqil tertarik pada berbagai objek yang dia lihat. Seperti belalang. Atau pepohonan. Kita hanya diberitahu bahwa Aqil lebih memahami medium gambar.

Bandingkan dengan film yang juga bertema tentang disleksia produksi Bollywood yang disutradarai oleh Aamir Khan, Taare Zaamen Par (2007). Dalam film itu kita diajak menyelami apa yang karakter Ishaan rasakan. Kita dibawa untuk mengetahui emosinya. Saat dia diganggu oleh anak-anak sebayanya; saat dia dibandingkan oleh kakaknya yang berprestasi; atau betapa gembiranya dia ketika mengorek selokan untuk mencari ikan. Sehingga saat perspektif penceritaan beralih ke sosok orang dewasa, kita sudah mendapat pemahaman cukup komprehensif apa yang dirasakan Ishaan sebagai penderita disleksia. Perspektif orang dewasa di film itu kemudian berfungsi sebagai penyeimbang. Membuat kita benar-benar memahami makna “setiap anak terlahir sempurna”.

Naskah Wonderful Life yang ditulis oleh Jenny Yusuf (Filosofi Kopi, Critical Eleven) dan merupakan ekranisasi buku berjudul sama, lebih membawa kita menelusuri “disleksia” dari sudut pandang ibunya. Seorang wanita karir yang terobsesi dengan pekerjaan. Amalia adalah salah satu CEO perusahaan agensi periklanan. Dia adalah seorang creative planner, yang bertugas untuk menyiapkan sebuah strategi kreatif bagi perusahaan atau jenama yang menjadi kliennya.

Sosok Amalia dalam film ini digambarkan laiknya petinggi di industri kreatif : modis, memiliki koleksi scarf keluaran Louis Vuitton, trendi dan resik. Dia ambisius dan sekaligus hypochondriac, karena tak pernah lupa mengoleskan tangannya dengan cairan antiseptik sehabis memegang suatu benda. Suatu kebiasaan yang hanya sebatas gimmick untuk menegaskan karakternya sebagai seorang pribadi yang maniak terhadap segala keteraturan.

Kepribadian keras dan ambisius Amalia lahir karena sifat sang ayah. Dalam satu adegan kilas balik yang menghadirkan sebuah dialog dengan mantan suaminya, kita tahu darimana sifat Amalia berasal. Sang suami berkata bahwa Amalia seperti ayahnya yang selalu menekan orang yang memiliki perspektif berbeda untuk mengikuti pandangannya.

Suatu ketika, Amalia dan perusahaan tempat dia bekerja mendapatkan sebuah kesempatan untuk mendapatkan klien besar. Salah satunya adalah Le Homme. Namun di waktu bersamaan, Amalia harus menyelesaikan permasalahan sang anak yang prestasinya di sekolah makin menurun dan kerap bermasalah.

Amalia digambarkan memiliki sikap praktis. Dia memang menyertakan anaknya ke berbagai terapi. Hasilnya tak memuaskan dia. Amalia ingin anaknya sembuh dan tak mau menerima pendapat bahwa disleksia tak bisa disembuhkan. Seperti yang diucapkan salah satu terapisnya bahwa, “ Permasalahan yang dialami Aqil bukan untuk dihadapi, tapi justru harus dijadikan sahabat.”

Hingga akhirnya Amalia mendengarkan obrolan karyawannya tentang pengobatan alternatif. Metode pengobatan yang mengedepankan cara klenik. Dari obrolan para karyawan itu, Amalia mendapatkan informasi bahwa metode alternatif itu ampuh untuk menyembuhkan berbagai penyakit.

Narasi kemudian beralih menjadi sebuah road movie. Amalia lalu mengajak Aqil, anaknya, untuk mencari pengobatan alternatif yang dimaksud. Ibu dan anak itu kemudian menempuh perjalanan panjang. Sebuah perjalanan yang, idealnya, akan membawa kita ke sebuah pemahaman emosional. Pemahaman emosional yang semestinya membuat kita mengerti alasan Amalia sehingga akhirnya menerima kenyataan yang dialami oleh buah hatinya.

“Dalam Wonderful Life terdapat dua karakter : Amalia dan Aqil. Ibu dan anak. Tetapi, seperti yang sudah saya singgung di atas, kita hanya melulu tahu subjektivitas Amalia. Kita hanya mengerti perspektifnya. Subjektivitas Aqil dan apa yang dirasakannya, tidak pernah benar-benar dihadirkan. Medium perjalanan semestinya menjadi sebuah platform untuk memadukan dua subjektivitas yang baik minyak dan air. Seperti dalam film Le Grand Voyage (2004).”



Tak Ada “Treshold Sequence”. Tak Ada Raison d’etre.

Di sinilah permasalahan sebenarnya dalam Wonderful Life bermula.

Sebuah road movie yang baik adalah tentang perubahan. Perubahan yang diwakili dengan sebuah pergerakan. Atau yang didalam struktur narasi ‘monomyth/hero’s journey” disebut dengan “threshold sequences”. Sekuens yang menunjukkan batas-batas emosional para karakter dan kemudian membawa mereka kepada satu perubahan emosi dan cara pandang. Perubahan karakter protagonis utama dari satu state of mind ke tahapan yang berikutnya. Sebuah perubahan yang didapatkan dari proses perpindahan dari satu tempat ke tempat lain dan kemudian membawa kita kepada sebuah pemahaman emosional tentang mengapa sang karakter mendapatkan satu pencerahan. Proses perpindahan yang melibatkan interaksi emosional. Interaksi antar lebih dari satu subjektivitas.

Dalam Wonderful Life terdapat dua karakter : Amalia dan Aqil. Ibu dan anak. Tetapi, seperti yang sudah saya singgung di atas, kita hanya melulu tahu subjektivitas Amalia. Kita hanya mengerti perspektifnya. Subjektivitas Aqil dan apa yang dirasakannya, tidak pernah benar-benar dihadirkan. Medium perjalanan semestinya menjadi sebuah platform untuk memadukan dua subjektivitas yang baik minyak dan air. Seperti dalam film Le Grand Voyage (2004).

Di Wonderful Life, kita lebih diajak masuk ke dalam subjektivitas Amalia. Kita hanya tahu betapa egois dan keras kepalanya dia. Bahkan saat perjalanan dengan Aqil berlangsung, kita masih diberi informasi bahwa dia masih peduli dengan pekerjaannya. Betapa dia masih menelepon rekan kerjanya; mengecek surel; berusaha mendapatkan akses internet. Saat kemudian Amalia sadar akan fungsinya sebagai seorang ibu dari anak yang butuh perhatian, saya tak yakin dengan perubahannya. Momen pencerahan yang didapat Amalia lalu terasa begitu cepat.

Permasalahan juga muncul dari motivasi Amalia.

Dalam sebuah road movie, dibutuhkan satu alasan narasi logis yang konteksual dengan karakterisasi tokoh yang akan menjalaninya. Dibutuhkan satu raison d’etre yang koheren dan relevan dengan karakter.

Amalia adalah seorang CEO. Seorang strategic planner sukses yang tentu untuk mencapai posisi seperti yang kita lihat di film, dibutuhkan kerja keras dan strategi. Karakter seperti Amalia adalah tipikal yang akan mengutamakan riset. Saya tak mendapatkan pemahaman yang relevan dengan karakterisasi Amalia di film ini, saat dia memutuskan untuk membawa anaknya menempuh perjalanan panjang dalam mencari pengobatan alternatif.

Perjalanan panjang yang dilakukan Amalia tidak hanya ke satu tabib. Melainkan ke beberapa. Termasuk ke salah satu “tabib cabul”, yang dihadirkan sebagai momen komedi dan sekaligus suspensi. Kita tak pernah tahu darimana Amalia mendapatkan informasi tentang tabib-tabib itu.

Bagaimana mungkin Amalia tidak melakukan riset terlebih dahulu? Bagaimana mungkin dia tidak menyelidiki informasi yang dia dapat dari karyawannya? Apakah tidak ada pengobatan alternatif di dalam kota (atau minimal kota terdekat) yang bisa dia kunjungi? Amalia bisa saja memerintahkan anak buahnya, karena kita melihat saat itu dia sudah memiliki bawahan. Terlebih sejak awal, kita ditanamkan informasi bahwa Amalia bukanlah seorang ibu yang telaten mengurus dan memperhatikan anak. Lalu bagaimana mungkin Amalia dengan segala informasi yang kita dapat tentang karakternya, lalu memutuskan mengorbankan pekerjaan? Dan lebih jauh lagi, kenapa Amalia –seorang terdidik, logis dan memiliki selera tinggi—bisa begitu saja mempercayai metode pengobatan klenik?

Saya tidak menemukan satu alasan kuat yang bisa memicu Amalia untuk menempuh perjalanan jauh. Saya bahkan tidak mempercayai perjalanannya sendiri.

Idealnya, keputusan Amalia untuk menempuh perjalanan akan membawa kita kepada suatu pemahaman bahwa dia memiliki tanggung jawab moral atas anaknya. Saya tak mendapatkan pemahaman itu. Yang saya lihat di layar, justru Amalia adalah seorang karyawan yang tak bertanggung jawab dan tega mengorban rekan kerjanya.

Dalam konteks logika narasi itu, saya justru bersimpati kepada karakter yang diperankan oleh Alex Abbad, sebagai co-director perusahaan tempat Amalia bekerja. Dia adalah sosok yang bertanggung jawab atas pekerjaannya. Apakah memang Amalia sengaja dihadirkan sebagai seorang karakter yang tidak untuk membuat kita merasa simpati?

Dugaan saya adalah bahwa filmmaker sengaja mengajak kita untuk mengenal Amalia di sebagian besar durasi film sebagai karakter tak simpatik, agar nanti kita mendapatkan sebuah perubahan kontradiktif di akhir film. Karena, nanti filmmaker berupaya keras memberitahu bahwa apa yang membentuk kepribadian Amalia adalah sebagai hasil “gemblengan” sang ayah.

Tetapi, upaya itu (lagi-lagi) dihadirkan lewat ujar-ujaran yang lantas membuat pengungkapannya hanya sebagai validasi. Hanya sebagai alasan yang tak membuat saya terikat secara emosional. Karena itu tadi, 80% cerita kadung menempatkan karakter Amalia sebagai sosok yang degil. Sosok yang keras kepala. Kita tak mendapatkan cukup waktu untuk meresapi proses transisi. Perjalanan yang ditempuh Amalia dan Aqil tidak terasa substansial. Terasa begitu cepat dan dipaksakan untuk melahirkan sentimen. Ditambah, saya juga tak diajak menyelami interaksi emosional antara subjektivitas Amalia dan Aqil. Karena subjektivitas Aqil diabaikan.

Saya juga tak merasakan sentakan emosi dari penampilan Atiqah Hasiholan. Dia membawakan perannya dengan gaya teatrikal. Pada beberapa momen, saya mengerti keputusan Atiqah dalam menggunakan pendekatan teatrikal adalah untuk memisahkan karakternya dengan dunia di sekitarnya. Bahwa Amalia memang benar-benar sosok superior yang berjarak dengan karakter-karakter lain. Namun, keputusan Atiqah mempertahankan gaya aktingnya itu berakibat fatal kepada putusnya interaksi emosional Amalia dengan Aqil di momen krusial. Saat seharusnya Amalia sudah luluh hatinya, dia masih terlihat berjarak dengan sang anak.



Gagal Dalam Memantik Pemahaman Emosional

Wonderful Life sebenarnya berupaya memberikan sentuhan satire. Kritik terhadap orang tua yang kerap memaksakan keinginan dan ambisi pribadi mereka terhadap sang anak. Kritik bahwa semestinya orang tua mau menerima anak mereka apa adanya. Sayang, satire tersebut tak menjadi efektif dan berfungsi. Karena upaya penghadirannya tak ditunjang oleh mulusnya peleburan antara wacana tentang disleksia dan tentang ambisi orang dewasa. Karena itu tadi, alpanya subjektivitas sang anak.

Ada beberapa simbolisme yang saya suka di Wonderful Life.

Simbolisme hilangnya sosok suami saat kamera perlahan-lahan menampilkan benda-benda yang turut menghilang satu per satu. Simbolisme tentang rumah sejati dan penamaan perusahaan Le Homme, yang dalam bahasa Perancis berarti “individu”, “personal” atau “gaya”. Homme juga secara harfiah berarti pria. Dan bukan kebetulan, Amalia kehilangan prianya. Kehilangan suaminya di film ini. Merujuk pada Amalia yang individualistis, namun penuh gaya. Atau ketika kamera menyorot Amalia yang sedang berada di kamar di rumah orang tuanya. Kamar itu amat polos, sederhana dan temaram. Tanpa furnitur mewah dan berkelas yang mewakili karakter Amalia, seperti yang saya lihat di pilihan busananya. Seperti sebuah simbolisme tersendiri tentang Amalia yang, bahkan di usia dewasa, saat berada di rumah orang tuanya, dia tetap menjadi anak kecil yang masih diatur perspektifnya.

Agus Makkie, sebagai sutradara, memiliki pengalaman panjang di iklan. Lewat berbagai simbolisme yang dihadirkannya, saya paham bahwa dia terlatih menampilkan berbagai metafora dalam presisi yang cermat di narasi. Tetapi, film feature berbeda dari iklan. Film feature harus menampilkan emosi yang berkesinambungan sejak first act hingga ke babak terakhir. Emosi berkesinambungan yang akan membuat penontonnya kepada sebuah pemahaman emosional komprehensif, bukan parsial.

Saya lebih tertarik memaknai Wonderful Life sebagai kisah tentang perjalanan karakternya yang berupaya mencari rumah idaman. Rumah idaman yang menjadi tempat untuk menjadi diri sendiri.

Perjalanan itu memang berhasil menemukan rumahnya. Sayang, perjalanannya tak membawa saya kepada suatu pemahaman emosional menyeluruh. Sebuah perjalanan yang bahkan saya tak terlalu saya percayai dan kemudian gagal dalam memantik pemahaman emosional.

(2,5/5)

Reviewed at Blok M Square XXI on October 12, 2016

Running time : 79 minutes

A Creative & Co with Visinema Pictures presentation

Producers : Angga Dwimas Sasongko, Handoko Hendroyono, Rio Dewanto

Director : Agus Makkie

Screenplay : Jenny Jusuf

Script development : Angga Dwimas Sasongko, Irfan Ramly

Based on the book with the same title

Camera : Robie Taswin

Editor : Ahsan Andrian

Sound editor : Satrio Budiono, Djoko Setiadi

Music : Bottle Smoker, McAnderson

Theme song by Lala Karmela, Banda Neira

Art director : Yusuf

Wardrobe : Yuke Indriany

Make up : Notje M Tatiputra

Casting director : Meirina Arwie

With : Atiqah Hasiholan, Sinyo, Lidya Kandau, Alex Abbad, Putri Ayudya, Arthur Tobing, Abdul Latif, Toto Rasiti.

One Comment

Leave a comment