Suicide Squad Review : Attitude Tanpa Altitude

“Bila Guardians of the Galaxy berakhir menjadi sebuah film yang jenaka, bernas dan memiliki hati; Suicide Squad sayangnya menjadi film yang tak peka, kolaps dan membuat penonton disorientasi.”




Menonton Suicide Squad membawa saya kepada déjà vu, kembali kepada tahun 2014, tahun di mana salah satu film adaptasi komik terbaik dirilis, Guardians of the Galaxy.

Komparasi antara Suicide Squad dan Guardians of the Galaxy memang tak bisa dihindari karena kedua film tersebut memiliki tiga kesamaan. Pertama : cerita keduanya dibangun atas sebuah premis, “ bagaimana bila sekelompok orang yang memiliki catatan kriminal digabungkan untuk berbuat baik dan menyelamatkan dunia?”. Persamaaan kedua : cerita kedua film tersebut menggunakan lagu-lagu vintage sebagai napas dan pengatur mood dalam film. Hal ketiga yang membuat kedua film ini serupa adalah keduanya menghadirkan karakter-karakter yang relatif belum dikenal luas oleh khalayak (tentu saja Joker dan Harley Quinn adalah pengecualian).

Premis kedua film tersebut bolehlah sama, tapi tentu saja pembangunan cerita dan eksekusi akan menentukan perbedaan hasil akhirnya. Bila Guardians of the Galaxy berakhir menjadi sebuah film yang jenaka, bernas dan memiliki hati; Suicide Squad sayangnya menjadi film yang tak peka, kolaps dan membuat penonton disorientasi.

Muncul kesan yang kuat bahwa Warner Bros. berupaya keras untuk menyuntikkan elemen humor ke Suicide Squad yang sebenarnya punya atmosfer dan nuansa gelap. Salah satu buktinya adalah lewat kalimat one-liner yang dilontarkan karakter bernama Griggs , “ …I want you to clear my browser history.” . Celetukan guyonan yang dilontarkan di suatu adegan di mana para karakternya berkumpul dan saling mengungkapkan keinginan personal ini hampir saja luput dari perhatian saya. Karena memang upaya mempertemukan unsur komedi dan nuansa gelap yang jadi “bawaan” ceritanya tidak bisa lebur dengan organik. Terlebih kumpulan dialog one-liner tersebut tidak memiliki nilai kontekstual terhadap adegannya.

Bayangkan saja sebuah film yang menghadirkan berbagai pembunuh dan penjahat kelas kakap yang bahkan di penjaranya pun menempati sel khusus, saking berbahayanya mereka. Namun, elemen humor itu justru membuat cita rasa film ini campur aduk tidak keruan. Bukan karena atmosfer gelap dan humor tidak bisa berpadu, melainkan ketidaktepatan Suicide Squad dalam menempatkan humor tersebut, demi menyusun kepingan-kepingan adegan menjadi sebuah cerita yang koheren dan membangun momentumnya. Ya, salah satu kealpaan paling kentara dalam Suicide Squad adalah tidak terciptanya momentum. Ketiadaan momentum di film ini pula yang membuat penonton disorientasi dan akhirnya merasa bingung apa sebenarnya cerita yang ingin disampaikan oleh film ini.

Kesempatan membangun momentum itu sebenarnya ada di awal film. Kita diajak berkenalan terlebih dahulu dengan tiga karakter paling penting : Floyd Lawton alias Deadshot (diperankan oleh aktor karismatik, Will Smith), seorang penembak jitu amat berbahaya yang paling dicari. Dia punya kemampuan menembak satu titik secara tepat berulang-ulang. Deadshot yang nantinya diketahui punya seorang putri yang amat disayanginya ini punya moto : tak ada uang, tak ada sayang. Karakter ini punya soundtrack tersendiri: The House of the Rising Sun, lagu populer dari era 60-an milik grup band The Animal.

Karakter kedua yang diperkenalkan adalah Harley Quinn (diperankan oleh Margot Robbie). Ia seksi, mematikan dan tak segan menjilat tiang jeruji penjara untuk menggoda iman. Harley adalah mantan psikolog yang justru jatuh cinta dengan pasiennya yang manipulatif dan berbahaya,  Joker (diperankan dalam atitude penyanyi musik rock oleh Jared Leto). Harley digambarkan di film ini sebagai korban Sindrom Stockholm dan menyerahkan segenap jiwa raganya kepada karakter jahat paling ikonis di jagat komik itu. Suatu ironi dihadirkan lewat soundtrack yang mewakili Harley, lagu lawas milik Leslie Gore yang berjudul You Don’t Own Me.

Lalu kita diperkenalkan kepada karakter Amanda Waller (diperankan dengan amat meyakinkan dan mengintimidasi  oleh Viola Davis) yang pengenalannya diiringi lagu Sympathy for the Devil milik grup band legendaris, The Rolling Stone. Waller adalah pejabat pemerintah yang punya kemampuan diplomasi kelas wahid dan tak mengenal kata menyerah. Dialah otak di balik gagasan membentuk sebuah kelompok beranggotakan para kriminal papan atas untuk melakukan pekerjaan “bersih-bersih” pemerintah. Gagasan Waller berangkat dari sifat paranoid yang selalu digambarkan sebagai sifat dasar pemerintah Amerika Serikat, “ Bagaimana jika suatu hari superhero seperti Superman berubah haluan menjadi teroris?”. Waller percaya bahwa gagasannya adalah senjata pamungkas untuk mengantisipasi apa yang ditakutkan oleh pemerintah. Para kriminal tersebut bisa diperlakukan seperti barang sekali pakai. Toh, mereka hanyalah kriminal yang menjadi musuh masyarakat. Tiada yang peduli dengan eksistensi mereka. Waller pun punya ancang-ancang, para kriminal tersebut dipasangi sebuah alat di dalam tubuh mereka yang berfungsi sebagai alat pelacak keberadaan dan sekaligus alat pemusnah.

Dari sini masalah di Suicide Squad bermula.

“…film ini seperti anak remaja tanggung yang sedang mencari jati diri dengan mendengarkan lagu-lagu “keren” supaya dirinya dianggap “keren” juga. Ya, seperti itulah kesan yang saya tangkap di film ini. Semuanya untuk pelengkap attitude, tanpa altitude.”



ATTITUDE TANPA ALTITUDE

Bila dalam Guardians of the Galaxy koleksi lagu datang dari kumpulan pribadi milik karakter Peter Quill (alias Star Lord yang diperankan oleh Chris Pratt ) berfungsi sebagai penghubung emosi karakternya dengan masa lalu yang kemudian menjadi tone utama film, Suicide Squad terlalu dipenuhi oleh lagu rock dari rentang 60’an hingga hip-hop awal 2000’an yang ditempatkan secara acak dan ditempatkan pada saat paska produksi hanya sebagai ornamen pelengkap atitude yang ingin menegaskan bahwa film ini “menyenangkan”, “eksentrik” dan “relevan dengan budaya pop”. Setiap karakter memiliki lagunya masing-masing, belum lagi lagu di saat mereka berada dalam satu frame. Karakter Deadshot dan Harley Quinn bahkan memiliki 2 lagu yang mengiringi kemunculan mereka di layar. Padahal mereka masih memiliki berbagai karakter lain yang direkrut menjadi anggota skuad.

Ada Digger Harkness alias Captain Boomerang (diperankan oleh aktor yang minim karisma di layar, Jai Courtney), karena dia berasal dari Australia. Namanya menunjukkan keahliannya; Chato Santana alias El Diablo (diperankan oleh aktor tampan Meksiko, Jay Hernandez), pria berkepala plontos dengan tato menyerupai tengkorak di wajahnya. El Diablo mampu memproduksi dan memanipulasi api. Kekuatannya itu kemudian menjadi petaka maut yang merenggut anak-istrinya; lalu ada pula Waylon Jones alias Killer Crocodile ( diperankan oleh Adewale Akinnuoye-Agbaje dalam riasan prostetik berupa, seperti nama karakternya, buaya), hasil rekayasa genetika antara manusia dan buaya. Ia karnivora ganas dan tangkas di air.

Kemunculan ketiga karakter tersebut juga diiringi lagu, mulai dari Dirty Done Dirt Cheap dari grup rock AC/DC hingga Fortunate Song, lagu milik grup band akhir era 1960 Creedence Clearwater Revival. Lagu-lagu tersebut bagaikan playlist yang dijumput secara acak dan dimainkan secara acak pula. Tanpa keterkaitan kontekstual dengan cerita, adegan atau pembangunan karakter. Penempatan lagu di film berfungsi untuk memperkuat efek emosional di sebuah adegan. Di Suicide Squad hal itu tidak terjadi, hanya sebagai gimmick dan ornamen yang membuat film ini seperti anak remaja tanggung yang sedang mencari jati diri dengan mendengarkan lagu-lagu “keren” supaya dirinya dianggap “keren” juga. Ya, seperti itulah kesan yang saya tangkap di film ini. Semuanya untuk pelengkap attitude, tanpa altitude.

Ujar-ujar mengatakan bahwa attitude menentukan altitude. Hal tersebut akan terjadi bila attitude disertai dengan esensi, sesuatu yang tidak terjadi di Suicide Squad. Seperti jumlah lagu yang digunakan, film ini juga banyak melibatkan talenta dan karakter yang sayangnya nyaris tak satu pun yang berhasil memberikan kesan, karena porak porandanya pembagian penceritaan.

Selain karakter-karakter di atas, Suicide Squad juga menampilkan karakter

Rick Flag (diperankan oleh Joel Kinnaman), anggota pasukan elit khusus perang, sekaligus anak buah Amanda Waller, yang terlibat asmara dengan arkeolog Dr. June Moon (diperankan oleh supermodel, Cara Delevingne). Seperti hubungan Harley Quinn dan Joker, hubungan Flag dan Dr. Moon juga pelik karena sang arkeolog dirasuki oleh penyihir jahat berjuluk Enchantress. Setiap Moon menyebut nama “Enchantress”, maka sang penyihir jahat menguasai raga dan jiwanya. Satu-satunya yang bisa mengontrol sang penyihir adalah Waller, karena ia memiliki boneka voodoo sang penyihir. Celakanya, Enchantress kemudian menemukan jalan untuk membebaskan diri dan menebarkan teror ke seluruh kota. Teror yang harus dihadapi bersama oleh para anggota Suicide Squad.

Enchantress yang semestinya menjadi musuh paling berbahaya dan karakter paling menarik (karena ia dan June Moon memiliki hubungan layaknya Dr. Jekyll dan Mr. Hyde), justru menjadi lelucon paling besar di film. Karakter ini tak lebih hanyalah plot device, yang diperparah dengan buruknya akting Cara Delevingne. Ia terlihat hanya berpose dengan lenggak-lenggok dalam busana eksotis, seperti menirukan gaya panggung Anggun C. Sasmi. Matanya saat berakting terlihat kosong dan ekspresinya datar. Karakternya lantas menjadi lelucon, bukan ancaman.

Masih ada seabrek karakter lain di Suicide Squad yang tak memiliki fungsi apa pun. Contohnya Katana (Karen Fukuhara). Kehadirannya tidak memberikan efek apa pun, akibat miskinnya porsi karakter ini untuk menyadarkan penonton bahwa dia ada. Film yang semestinya merupakan ansambel, tidak lebih hanya sebagai etalase promosi bagi karakter-karakter yang nantinya akan dijual sebagai mainan action figure.

David Ayer adalah sutradara Suicide Squad, sekaligus turut menulis naskahnya. Ayer tak asing dengan film ansambel yang melibatkan nama besar. Fury, Harsh Time dan Sabotage adalah beberapa contohnya. Ayer juga merupakan sutradara yang mengutamakan attitude dan gaya. Di Fury, dia menjadikan film ansambel berlatar Perang Dunia II itu dengan sentuhan rock n roll dan aksi layaknya film laga modern. Tengok saja peperangan antara tank tempur yang mengeluarkan cahaya layaknya pedang saber milik kaum Jedi di Star Wars yang dikemas dalam penyuntingan jump cut dinamis di film itu.

Meski tidak selalu berhasil, setidaknya film-film Ayer sebelum ini masih berusaha untuk menyeimbangkan porsi para karakternya, memberikan ruang agar mereka mengembangkan dinamika dan membangun momentum. Suicide Squad bukan terasa sebagai film Ayer, tone-nya terasa, namun tidak eksekusinya.

Merupakan suatu masalah besar bila suatu film ansambel berlaku pilih kasih dalam mengembangkan karakter di dalamnya. Suicide Squad memberikan ruang besar kepada karakter milik Will Smith, Margot Robbie dan Jared Leto. Mereka memang nama-nama besar yang lebih dikenal, tapi dalam sebuah film ansambel yang utama adalah dinamika tim, bukan individu.

Masalah ini bisa dianalisis lewat pilihan editing dan kerja kamera. Suicide Squad seperti sekumpulan close-up shots. Lepas serangkaian pengenalan karakter yang seperti tak ada habisnya, kamera jarang sekali menampilkan dua atau lebih karakter dalam satu frame. Bila pun ada, durasinya tak lebih dari empat detik, sebelum akhirnya cut kembali mengarah ke close-up shot ke salah satu karakter. Hal ini menyebabkan hilangnya hubungan emosional antar karakter dan menyebabkan penonton disorientasi.

Menempatkan para aktor di dalam satu frame dan membiarkan mereka berdialog, berinteraksi, demi membangun momentum adalah suatu hal penting dalam sebuah film. Terlebih di film ansambel yang bercerita mengenai sekelompok orang dalam sebuah tim yang bekerja bersama. Semakin sering mereka ditampilkan dalam satu frame, semakin percaya penonton akan hubungan mereka.

Di Suicide Squad, yang paling sering ditampilkan dalam satu frame adalah karakter Will Smith dan Margot Robbie. Terlepas dari fakta bahwa mereka pernah bekerjasama dalam Focus (2014), hubungan mereka yang terlihat paling nyata dalam Suicide Squad. Itu karena interaksi antara mereka berdua yang paling sering ditampilkan. Hal ini yang kemudian membuat interaksi antara Margot sebagai Harley Quinn dan Jared Leto sebagai Joker pun tak bisa dihadirkan seintim itu. Di layar, saya malah ingin agar Harley dan Deadshot menjalin hubungan asmara.

Pilihan penyuntingan untuk mengisolasi para karakter Suicide Squad dalam serangkaian close-up juga membuat antar adegan di film ini terputus. Pola dalam film ini dapat dikenali dengan master close up ke close up dan serangkaian sekuens close up. Pola ini terus dilakukan dan memborbardir di sepanjang film. Hal tersebut membuat film ini terasa membosankan dan membuat letih. Meski banyak informasi, lagu-lagu dan kejadian yang diperkenalkan, saya menjadi tidak peduli dengan setiap adegannya. Yang saya ingin hanyalah agar filmnya cepat berlalu.

Keputusan memakai pola di atas juga membuat film ini tidak memiliki variasi tone dan pace. Sebuah film yang baik (seperti halnya Guardians of the Galaxy), memberikan kesempatan untuk membangun emosi dan momentum dari adegan ke adegan berikutnya. Momen dan adegan tenang disisipkan sebagai jeda, agar penonton bisa menarik napas sebelum nantinya kembali diberikan adegan yang kinetis dan rancak.

Ada satu momen tenang di jelang aksi saat para karakter film ini berada di bar dan berkenalan lebih jauh satu dengan lain. Sekuens ini hampir memberikan keterikatan emosional, namun sayangnya lagi-lagi, penyuntingan lebih memilih close-up shots daripada menampilkan mereka lebih lama dalam satu frame. Bandingkan dengan momentum di Guardians of the Galaxy, saat seluruh karakter pentingnya melakukan diskusi membuat perlawanan. Mereka membentuk lingkaran dan kamera memperlihatkan mereka bersama-sama.

Suicide Squad tak memiliki waktu dan tak mau meluangkan waktu untuk membuat penonton peduli akan kisah dan ceritanya. Film ini terlalu sibuk menunjukkan attitude sebagai bad guy, yang bahkan seringkali dideklarasikan lewat ujaran para karakternya. “We’re bad guys!



STUDIO ADALAH PENJAHAT SESUNGGUHNYA DI FILM INI

Apa yang membedakan antara superhero dan villain di cerita komik? Pilihan mereka untuk menjalani hidup. Superhero, meski  dia tidak memiliki kekuatan meta-human, menyadari bahwa potensi dan hidup mereka memikul sebuah tanggung jawab. Bahwa mereka terikat pada suatu norma dan pranata yang membuat mereka menggunakan kekuatan mereka untuk menolong sesama dan membuat perubahan. Seiring dengan kekuatan yang besar, maka makin besar pula tanggung jawab yang dipikul. Itulah mantera superhero.

Villain, di komik, memilih untuk menjalani hidup “semau gue”. Mereka egois dan tidak peduli dengan aturan, ataupun nilai-nilai kemanusiaan. Villain akan melakukan segala daya upaya agar tujuannya berhasil. Trauma masa lalu biasanya dijadikan alasan bagi para villain komik untuk membentuk sebuah tatanan hidup baru, berdasarkan prinsip mereka, namun dengan cara anarkis. Pilihan hidup villain inilah yang membuat mereka seringkali lebih menarik dan lebih manusiawi. Mereka secara psikologis mewakili amarah para pembaca komik terhadap ketidakadilan di kehidupan nyata.

Maka dari itu, konsep menyatukan para villain untuk memberantas kejahatan adalah konsep menarik. Meski kemudian bila dipaksakan bahwa mereka berbuat itu demi sebuah pedoman moral, hal itu menurunkan daya tariknya.

Dalam Guardians of the Galaxy keputusan Peter Quill dan kawan-kawan untuk menyelamatkan planet dari ancaman Ronan dan merebut Batu Infinity dari tangannya, bukan berangkat dari motivasi mereka ingin menyelamatkan umat manusia. Mereka hanya ingin mereka tidak binasa dan untuk itu mereka mau tak mau harus menyelamatkan banyak orang.

Dalam Suicide Squad, para villain dipaksa tampil sebagai orang baik. Menyalahi insting anarkis dan keegoisan mereka. Suatu pilihan demi mendapatkan rating semua umur dan meluaskan demografi penonton. Hal yang membuat film ini terasa pretensius dan tak jelas juntrungannya.

Untuk mengakomodir tujuan itu, Suicide Squad menanamkan banyak sub-plot. Setidaknya ada empat sub-plot mengenai latar belakang beberapa karakter yang, ujung-ujungnya, tidak punya korelasi dan konteks terhadap cerita secara keseluruhan. Bagaimana bisa merasakan koneksi terhadap cerita manipulasi cinta Joker dan Harley bila hanya memiliki waktu dua menit untuk memaparkannya?

Suicide Squad tak memiliki waktu dan tak mau meluangkan waktu untuk membuat penonton peduli akan kisah dan ceritanya. Film ini terlalu sibuk menunjukkan attitude sebagai bad guy, yang bahkan seringkali dideklarasikan lewat ujaran para karakternya. “We’re bad guys!

Yang menarik adalah bagaimana Viola Davis dan karakternya menjadi bad guy yang sesungguhnya di film ini. Lewat sorot mata dan ekspresi wajah penuh keambiguan, sulit menentukan apakah Amanda Waller adalah karakter baik atau jahat. Sorot matanya tajam dan penuh misteri. Kita merasa terintimasi oleh Viola Davis di setiap kehadirannya di layar. Idenya yang justru berhasil menghantui dan mencekam, bukan realisasinya. Suatu kualitas dari Viola Davis yang mungkin hanya bisa ditandingi oleh karakter Merryl Streep di The Devil Wears Prada atau Kathy Bates di Misery.

Saya berandai-andai apa jadinya bila Ayer diberi keleluasaan untuk membawa Suicide Squad sebagai filmnya sendiri. Tentu dengan bantuan penulis naskah yang baik. Ayer lewat film-filmnya seperti End of Watch atau Fury, menjadikan kekerasan dan percikan darah sebagai bagian dari penceritaan. Bukan hanya sebagai ornamen. Tentunya akan lebih menarik bila Ayer menggarap Suicide Squad di ranah yang dimengertinya.

Suicide Squad yang kita tonton di bioskop merupakan produk studio yang hanya peduli pada hasil penjualan waralaba, bukan cerita. Ironis sebenarnya, karena Warner Bros memegang hak atas properti DC Comic  jauh lebih lama daripada Disney memegang hak atas properti Marvel. Warner bahkan sempat membuat trilogi adaptasi komik Batman yang kemudian menjadi karya monumental. Tapi, semakin ke sini, film-film adaptasi komik DC semakin kelimpungan dalam menentukan arah dan apa yang dimaui.

Beranjak dari situ, bukan hal yang berlebihan bila Warner Bros adalah penjahat sesungguhnya di Suicide Squad.

(2/5)

⭐⭐

Reviewed in IMAX 3D format at IMAX Gandaria City XXI

Warner Bros Pictures, Ratpac-Dune Entertainment, Atlas Entertainment Production

Producers : Charles Roven, Richard Suckle. Executive producers: Zack Snyder, Deborah Snyder, Colin Wilson, Geoff Johns, Steven Mnuchin.

Director, writer: David Ayer

Camera (color, widescreen): Roman Vasyanov.

Editor: John Gilroy

Casts : Will Smith, Viola Davis, Margot Robbie, Jared Leto, Jai Courtney, Jay Hernandez, Cara Delevingne, Adewale Akinnuoye-Agbaje, Adam Beach, Karen Fukuhara, Aidan Devine, David Harbour, Ben Affleck, Ezra Miller.

One Comment

Leave a comment