Dilan 1990 Review: Adaptasi Verbatim Bermakna Minim

by PicturePlay

“Film Dilan 1990 lebih tertarik untuk mengeksploitasi dan mengeksplorasi aktor pemeran Dilan, Iqbaal Ramadhan, ketimbang karakter utamanya sendiri.



Ada satu perubahan kecil di Dilan 1990, film adaptasi novel berjudul sama karya Pidi Baiq, tetapi terasa signifikan terutama bagi yang telah membaca novelnya.

Perubahan itu terdapat di adegan saat karakter Milea Adnan Husain (di film diperankan oleh Vanessa Prescilla) untuk pertama kalinya memasuki kamar pribadi Dilan (diperankan oleh Iqbaal Ramadhan, eks CJR), remaja satu sekolah yang disukai oleh Milea. Saat menyusuri kamar tersebut yang didamping oleh Bunda (ibunda Dilan, diperankan oleh Ira Wibowo), pandangan mata Milea terpaku pada satu kutipan yang ditempel di dinding kamar. Kutipan tersebut berasal dari presiden Amerika di era 80-an, Ronald Reagan, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, “Barang siapa yang ingin damai, maka bersiaplah untuk perang.”

Ronald Reagan mengucapkan hal itu untuk memperkuat alasannya dalam meningkatkan pertahanan militer Amerika Serikat sebagai upaya menandingi kekuatan Uni Soviet (sekarang Rusia), yang di era 80’an, masih terlibat dalam kemelut Perang Dingin. Kutipan itu sendiri sebenarnya berasal dari sebuah  peribahasa Latin berarti sama, “si vis pacem, para bellum” yang diungkapkan pertama kali oleh seorang jenderal perang masyhur Kerajaan Romawi, Publius Flavius Vegetius Renatus. Ronald Reagan di saat memerintah memang mempraktikkan strategi “Peace Through Strength” atau “Menciptakan Perdamaian Melalui Kekuatan” yang mengadopsi strategi Jenderal Vegetius.

Sementara di novelnya, pandangan Milea tertumbuk pada sebuah poster besar yang memuat gambar Ayatollah Ruhollah Khomeini, pemimpin revolusi Iran. Dilan sendiri di novelnya memang mengakui bahwa dia mengagumi tokoh revolusioner yang sekaligus menjadi Pemimpin Agung Pertama Iran itu.

Mengapa hal yang kedengarannya sepele itu saya angkat di review Dilan 1990? Karena setidaknya itulah “motif terselubung” yang bisa saya kaitkan dengan perilaku dan  tindak-tanduk Dilan, seorang remaja siswa kelas dua SMA di era 90’an yang memiliki karakter unik, pemberontak, tak gentar berkelahi, “Panglima Tempur” di sebuah geng motor, cerdas, piawai dalam bermain kata (kemampuan copywriting) dan sekaligus menarik perhatian para gadis. Dalam versi filmnya, ekpresi Milea saat memperhatikan kutipan Ronald Reagan di kamar Dilan tersebut mengimplikasikan bahwa itulah yang melatarbelakangi watak Dilan yang tak segan bertarung demi membela sesuatu yang dia yakini benar.

Tetapi, perubahan dari poster Ayatollah Khomeini ke kutipan Ronald Reagan itu juga menyisakan tanya. Bila sineas di balik filmnya menjadikannya sebagai sebuah motif untuk menjelaskan perilaku Dilan, maka pemilihan Ronald Reagan juga tidak tepat untuk mewakili karakter Dilan yang nyentrik, cenderung anti-kemapanan dan tidak segan melawan guru sekolahnya (mewakili penguasa di dunia Dilan) demi mempertahankan prinsipnya. Penggunaan Ayatollah Khomeini sebagai simbol akan lebih tepat, karena Khomeini tak ciut melawan dominasi negara adiwisesa, Amerika Serikat. Khomeini juga tak gentar melawan arus saat negara-negara sejawatnya di Liga Arab berlaku bak kerbau dicucuk hidungnya oleh Amerika Serikat, negara yang pernah dipimpin Ronald Reagan.

Film Dilan 1990 memang tidak tertarik untuk mengangkat lebih jauh karakter Dilan dan apa yang sebenarnya melatarbelakangi tindakannya sehingga begitu berani melawan dengan lantang seorang guru yang menegurnya, atau apa yang menyebabkan guru-guru lain terlihat enggan untuk memberinya sanksi tegas. Meski di novelnya juga tidak dijelaskan secara gamblang, tetapi setidaknya karakter Dilan digambarkan menaruh rasa hormat terhadap salah satu guru perempuan yang dinilainya mewakili pandangan idealnya tentang profesi guru dan hadirnya karakter guru ini menjadi pembanding kita, sebagai pembaca, untuk memahami pola pikir Dilan. Di novelnya, kita juga beberapa kali diberikan informasi bahwa ayah Dilan adalah seorang anggota kesatuan militer yang memiliki jabatan cukup tinggi. Cerita Dilan berlatar tahun 1990, di era Orde Baru, di mana kala itu anggota militer memang amat ditakuti dan memiliki kekuasaan.

Film Dilan 1990 justru lebih tertarik untuk mengeksploitasi dan mengeksplorasi aktor pemeran Dilan, Iqbaal Ramadhan, ketimbang karakter utamanya sendiri. Memang harus diakui bahwa Iqbaal memiliki pesona tak terelakkan di layar lebar yang terbukti lewat ekspresi gemas para penonton remaja putri setiap kali dia hadir di layar (yang berarti nyaris sepanjang film karena Iqbaal selalu muncul di layar). Iqbaal terlihat sudah berupaya keras untuk menghidupkan karakternya dan beberapa kali ia berhasil, yaitu saat dia bersikap lebih rileks, suatu kualitas yang diperlihatkannya di film Ada Cinta di SMA (baca resensinya). Namun, saat Iqbaal berupaya mengucapkan dialog sebagai Dilan yang gemar memakai gaya bahasa Indonesia baku, dia terlihat dan terdengar tidak percaya diri. Hal ini tampak jelas di mata Iqbaal. Saat dia mengucapkan dialog sebagai Dilan dalam bahasa Indonesia formal, matanya menerawang jauh. Seolah dia sedang mencari-cari bentuk reka ekspresi yang tepat.

Masalah Dilan 1990 tidak hanya di situ. Pilihan filmnya untuk mengikuti secara verbatim struktur dan gaya bercerita novelnya juga membuat film ini sulit untuk dinikmati sebagai medium bercerita audio visual. Novel Dilan mengikuti perjalanan romansa Milea dan Dilan di tahun 1990 dan dituturkan lewat sudut pandang Milea yang sudah dewasa, sebuah nostalgia kilas balik yang membuat rangkaian ceritanya seperti sporadis, episodis dan berdasarkan kenangan. Cerita di novelnya bersifat sangat subyektif, tetapi hal itu juga membuat kita tahu gejolak hati Milea sebagai karakter yang “gagal move on dari Dilan. Film adaptasinya juga memakai pendekatan serupa dengan versi novel yang menyebabkan semua tindakan haruslah diucapkan. Salah satu konsekuensi dari penggunaan voice over dan dialog untuk menjelaskan tindakan karakter adalah mengatur dan membatasi interpretasi penonton. Bila menilik dari keputusan film ini mengambil pendekatan sama persis dengan novelnya, maka bisa diyakinkan bahwa Dilan 1990 memang hanya menyasar dua target market: 1) pembaca novelnya; dan 2) penonton yang mengidolakan sosok Iqbaal.

Tujuan tersebut kemudian membuat tim di balik Dilan 1990 mengasumsikan bahwa semua penonton membaca novelnya. Hal ini terlihat dari diabaikannya penanaman berbagai informasi krusial terkait tokoh sekunder yang sebenarnya berperan penting dalam konflik antara Dilan dan Milea, serta berujung pada banyaknya karakter-karakter yang terkesan mendadak muncul dan kemudian hilang. Penonton yang tidak membaca novelnya akan kebingungan dengan siapa karakter-karakter tersebut. Film ini juga terlalu fokus kepada Dilan dan Milea, sehingga mengabaikan hubungan keduanya dengan karakter lain. Salah satu akibatnya adalah kita tidak tahu pasti apa yang menyebabkan karakter Milea sampai mendapat banyak dukungan dan perhatian. Apakah hanya karena dia cantik?

Keputusan untuk mengambil pendekatan yang sama persis dengan novelnya juga berimbas kepada tidak alamiahnya dialog yang terjadi. Seringkali dialog tercipta akibat tuntutan plot yang mengharuskannya ada dan karena dialog itu ada di novelnya. Bukan terlahir akibat aksi para karakter di layar lebar. Tuntutan untuk verbatim dengan novelnya pula yang membuat aktris sekaliber Ira Wibowo terlihat canggung dan bingung. Ira Wibowo semestinya menjadi seorang ibu yang asyik dan “gaul’ yang ekspresif dan ceplas-ceplos yang akan sedikit banyak membuat kita maklum darimana datangnya sifat eksentrik Dilan dan Ira punya kapasitas, serta kemampuan untuk itu. Sayangnya, Ira seperti tidak mendapat pengarahan yang tepat untuk mencapai tujuan cerita.

Tidak semua aspek Dilan 1990 lemah memang. Vanessa Prescilla tampil menyenangkan sebagai Milea dan dia pun memiliki interaksi yang sama menyenangkannya dengan Iqbaal sebagai Dilan. Adegan laga di jelang akhir film yang melibatkan Dilan juga sebenarnya menjanjikan, bila digarap lebih serius sebagai bentuk ekspresi cinta Dilan kepada Milea.

Dilan 1990 muncul di layar lebar tidak terlalu lama berselang dengan kejadian sekumpulan anggota gang motor yang melakukan penjarahan. Film ini pun menampilkan adegan satu geng motor menyerbu sekolah. Sayang, lagi-lagi, adegan itu hanya tuntutan plot. Andai saja bila naskah film ini juga memberikan ruang lebih kepada isu Dilan dan gang motornya, sesuatu yang di novelnya disebut bahwa geng motor sebenarnya tidak berbahaya. Meski juga tidak dijelaskan–atau setidaknya diberikan implikasi melalui bahasa visual, sebagaimana hakikat film sebagai medium bercerita audio dan visual—mengapa kegiatan menyerang tidak termasuk dalam kategori tindakan berbahaya dan kriminal.

Dilan 1990 memang lebih diperuntukkan dan dirancang sebagai persembahan untuk remaja yang selalu diasumsikan akan menelan mentah-mentah film adaptasi verbatim dengan makna yang minim seperti ini. Bila melihat dari mengularnya penonton usia remaja yang mengantri, asumsi itu memang sudah menjadi suatu hal yang pasti. Kita tak bisa mengeluh lagi. Jangan?

(2,5/5)

Reviewed at Blok M Square XXI on Thursday, Januari 25, 2018

Running time 110 minutes

A Max Pictures presetantation

Producer: Ody Mulya Harahap

Director: Fajar Bustomi & Pidi Baiq

Screenplay: Pidi Baiq, Titien Wattimena

Editor: Ryan Purwoko

Director of photography: Dimas Imam Subhono

Art: Angie Hakim

Sound Design: Khikmawa Santoso

Music: Andika Triyadi

Casts: Iqbaal Ramadhan, Vanessa Prescilla, Guillio Parengkuan, Brandon Salim, Rifnu Wikana, Ira Wibowo, Yati Surachman.

 

 

One Comment

Leave a comment